Tata Cara dan Rukhsah Sholat Bagi Orang Sakit Sesuai Syariat Islam

Kewajiban sholat tidak gugur meskipun seseorang dalam keadaan sakit, karena sholat merupakan kewajiban yang sangat penting dalam Islam.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
PEXELS/tima miroshnichenko
Panduan Shalat untuk Orang Sakit 

TRIBUNJOGJA.COM - Sholat adalah tiang agama sekaligus ibadah wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal. 

Kewajiban sholat tidak gugur meskipun seseorang dalam keadaan sakit, karena sholat merupakan kewajiban yang sangat penting dalam Islam.

Akan tetapi, Allah SWT memberikan keringanan (rukhsah) bagi orang yang sakit agar tetap bisa melaksanakan ibadah sesuai dengan kemampuannya.

Semua ketentuan ini diatur berdasarkan dalil-dalil yang sahih dan kesepakatan para ulama, dengan memahami panduan ini.

Orang sakit tetap dapat menunaikan ibadah shalat sesuai kemampuannya dan meraih pahala sempurna.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:

وَرَكَعَاتُ الْفَرَائِضِ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، فِيهَا أَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ سَجْدَةً، وَأَرْبَعٌ وَتِسْعُونَ تَكْبِيرَةً، وَتِسْعُ تَشَهُّدَاتٍ، وَعَشْرُ تَسْلِيمَاتٍ، وَمِائَةٌ وَثَلَاثٌ وَخَمْسُونَ تَسْبِيحَةً، وَجُمْلَةُ الْأَرْكَانِ فِي الصَّلَاةِ مِائَةٌ وَسِتَّةٌ وَعِشْرُونَ رُكْنًا، فِي الصُّبْحِ ثَلَاثُونَ رُكْنًا، وَفِي الْمَغْرِبِ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ رُكْنًا، وَفِي الرُّبَاعِيَّةِ أَرْبَعَةٌ وَخَمْسُونَ رُكْنًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ صَلَّى جَالِسًا، وَمَنْ عَجَزَ عَنِ الْجُلُوسِ صَلَّى مُضْطَجِعًا.

Jumlah rakaat shalat fardu adalah tujuh belas rakaat.

Di dalamnya terdapat tiga puluh empat sujud, sembilan puluh empat kali takbir, sembilan kali tasyahud, sepuluh kali salam, dan seratus lima puluh tiga kali tasbih.

Jika dihitung jumlah seluruh rukun shalat, totalnya ada seratus dua puluh enam rukun:

  • Dalam shalat Subuh: tiga puluh rukun,
  • Dalam shalat Magrib: empat puluh dua rukun,
  • Dalam shalat yang empat rakaat: lima puluh empat rukun.

Bagi orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring.

Berlaku apabila shalat dilakukan dalam keadaan mukim (tidak safar) dan bukan pada hari Jumat.

Jika di dalamnya terdapat shalat Jumat, maka jumlah rakaatnya berkurang dua rakaat. 

Jika shalat tersebut dilakukan dengan qashar (dalam safar), maka berkurang empat atau enam rakaat.

Pernyataan bahwa shalat fardu berjumlah tujuh belas rakaat hingga akhir rincian gerakannya bisa diketahui dengan memperhatikan secara detail, namun tidak banyak faedah besar yang dihasilkan dari hitungan ini.

Hukum bagi orang yang tidak mampu berdiri saat shalat fardu

Siapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardu, maka ia shalat dalam posisi duduk, jika tidak mampu duduk, maka ia shalat dalam posisi berbaring. 

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah kepada Imran bin Husain:

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, dan jika tidak mampu maka berbaringlah di sisi.”

Perlu diketahui, yang dimaksud dengan “tidak mampu” bukanlah benar-benar mustahil secara fisik, tetapi mencakup:

  • khawatir akan binasa
  • penyakit bertambah parah
  • timbul kesulitan berat
  • khawatir tenggelam atau pusing berat bagi orang yang berada di kapal.

Sholat dengan Isyarat Hati

Jika orang sakit sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuh atau kepala, maka sholat dilakukan dengan hati dan pikiran.

Ia tetap berniat sholat, membaca bacaan dalam hati, dan menghadirkan kekhusyukan sesuai kemampuannya.

Keringanan (Rukhsah) Sholat Bagi Orang Sakit

Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan tidak memberatkan umatnya.

Allah SWT berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Oleh karena itu, meskipun sholat wajib tidak gugur dalam kondisi sakit, Islam memberikan beberapa keringanan agar orang yang sedang sakit tetap bisa melaksanakan ibadah sesuai kemampuan.

Berikut adalah keringanan-keringanan tersebut:

1. Menjama’ Sholat

Menjama’ berarti menggabungkan dua sholat wajib dalam satu waktu, Misalnya:

  • Sholat Zuhur digabung dengan Ashar.
  • Sholat Maghrib digabung dengan Isya.
  • Menjama’ dilakukan ketika kondisi sakit membuat seseorang sulit untuk sholat di setiap waktunya, Misalnya karena sakit berat, lemah, atau harus terbaring di rumah sakit.

Bentuk Jama’:

  • Jama’ Taqdim: sholat yang kedua dilakukan pada waktu sholat pertama. Contoh: sholat Zuhur dan Ashar dikerjakan sekaligus pada waktu Zuhur.
  • Jama’ Ta’khir: sholat yang pertama diakhirkan ke waktu sholat kedua. Contoh: Zuhur dan Ashar dikerjakan sekaligus pada waktu Ashar.

Dalil:

Rasulullah SAW pernah menjama’ sholat tanpa rasa takut dan tanpa hujan, ketika beliau dalam kondisi sakit. (HR. Muslim No. 705)

Hal ini menunjukkan bahwa sakit termasuk uzur (alasan syar’i) yang membolehkan jama’.

2. Tayammum sebagai Pengganti Wudhu

Jika seseorang sakit dan tidak mampu menggunakan air untuk berwudhu karena dapat memperparah sakitnya, maka ia boleh bertayammum.

Tayammum dilakukan dengan debu atau tanah yang suci, cukup dengan menepukkan tangan ke permukaan debu lalu mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan.

Kondisi yang Membolehkan Tayammum:

  • Air tidak tersedia.
  • Air tersedia tapi berbahaya jika digunakan (misalnya memperparah luka atau penyakit).
  • Dokter atau tenaga medis menyarankan untuk tidak terkena air.

Dalil:

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan… lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci).”
(QS. Al-Maidah: 6)

Ini menegaskan bahwa tayammum adalah rukhsah (keringanan) sah yang diberikan Allah SWT.

3. Sholat di Atas Tempat Tidur

Orang sakit tidak diwajibkan memaksakan diri untuk turun ke lantai atau ke masjid, jika kondisinya lemah atau terhubung dengan peralatan medis.

Sholat tetap sah dilakukan di atas ranjang atau tempat tidur, posisi sholat bisa berdiri, duduk, atau berbaring, tergantung kemampuan.

Yang terpenting adalah menghadap kiblat semampunya, jika benar-benar tidak mampu, maka cukup sesuai kondisi.

Hal ini sesuai kaidah:

“Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
 
4. Menggunakan Bacaan Sesuai Kemampuan

Bacaan dalam sholat seperti Al-Fatihah, tasbih, atau doa, tetap dilakukan sesuai kemampuan.

Jika seseorang tidak mampu melafalkan bacaan dengan suara, ia boleh membaca dengan lisan tanpa suara.

Jika lisan pun tidak mampu bergerak, maka bacaan cukup dalam hati.

Ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama fiqih bahwa orang sakit tidak gugur kewajiban bacaan sholat, tetapi bisa dilakukan dengan cara yang paling minimal yaitu dalam hati.

Dengan adanya rukhsah (keringanan) dalam sholat bagi orang sakit, Islam menunjukkan betapa syariat ini penuh kasih sayang dan tidak memberatkan.

Sakit bukanlah penghalang untuk tetap menunaikan kewajiban sholat, sebab ibadah ini bisa dilakukan sesuai kemampuan, baik dengan berdiri, duduk, berbaring, maupun hanya dengan hati.

Selama niat dan kekhusyukan tetap terjaga, pahala sholat akan tetap sempurna di sisi Allah SWT.

(MG/Anggitya Trilaksono)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved