Lampiran Cyclofemmes, Eksperimen Transpuan Melawan Ketakutan dan Dominasi Patriarkal
Seni koreografinya yang dikemas menggunakan pendekatan queer camp itu berjudul Lampiran Cyclofemmes.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Uniknya pada bagian ini, sosok Mak Lampir hadir dalam sebuah video cuplikan. Tawa Mak Lampir yang khas kemudian menggelegar saat pertunjukan.
Ishvara juga memperlihatkan video kerusakan akibat perang yang saat ini terjadi dimana-mana.
Di tengah situasi tak menentu seperti saat ini, seniman yang pernah mengikuti Lokakarya CP (3) Dance Nuclues ini menitipkan pesan bahwa makna cinta harus digubah kembali.
"Sebenarnya mungkin kita perlu menavigasi ulang apa sih sebenarnya arti cinta di tengah dunia yang sedang tidak ada rasa empati, lack of empathy. Aku merasa kita butuh cinta di tengah dunia yang sedang membumihanguskan manusia melalui penjajahan dan lain-lain. Kita butuh revolusi cinta itu sendiri," katanya, kepada Tribun Jogja, seusai pentas.
Di karya ini Ishvara merasa bahwa cinta bukan satu-satunya hal yang bisa menyelesaikan persoalan nir empati ini.
Dia juga merasa sudut pandangnya akan terlihat utopis pada akhirnya. Namun, dalam proses kreatifnya itu dia akhirnya menemukan kesimpulan bahwa cinta itu bisa menjadi bentuk ambivalensi yang kadang menyembuhkan dan bisa saja melukai.
Lalu terkait dengan Mak Lampir, dia melihat dalam arsip film 90-an sosok perempuan terlalu bias dan sangat male gaze atau perempuan dipandang tidak utuh, yang diperlakukan sebagai objek untuk dinikmati.
"Itu menjadi ketakutan kolektif dan mungkin kita salah mengartikan atau menafsirkan sihir atau black magic atau apapun itu sebagai sesuatu hal yang mungkin itu adalah cara Mak Lampir untuk memberikan cinta alternatif, tapi kita sudah terlanjur untuk membencinya," jelasnya.
Persepsi negatif yang dibangun melalui sosok Mak Lampir itu menurutnya sudah mengakar dan menciptakan ketakuan bagi perempuan.
Melalui pesan audio visual yang di tampilkan, Ishvara ingin mengembalikan keutuhan perempuan.
"Orang menganggap Lampir tuh jahat. Tapi kalau kita menilai kembali arsip filmnya, itu tuh, dia menjadi korban sebenarnya, dari heteropatriarkal," terang dia.
"Dibuktikan saat Mak Lampir memberikan petuah atau nasihat kepada murid-muridnya- janganlah kau berbuat jahat jika tidak ingin dijahati serta kalau nggak mau malu, ya, jangan buat malu orang," sambung Ishvara.
Seniman yang pernah tampil di Jerman hingga Swiss ini mempersiapkan karya Lampiran Cyclofemmes sejak awal 2024 silam.
Dalam pertunjukan di Artjog kali ini, dia didukung produser Dara Hanafi, Diva Azalia sebagai komposer, Apry Wibowo selaku penata cahaya, lalu seniman tekstil Byakta Babam, serta pembuat instrumen Lintang Radittya.
Pada 29 dan 31 Juli 2025 Ishvara akan kembali tampil diacara simposium Studio Garasi Performance Institute (GPI) Yogyakarta.
Salah seorang pengunjung Artjog, bernama Eko mengaku senang melihat karya Ishvara Devati.
"Aku sangat tertarik upaya Ishvara membesarkan dirinya (transpuan) melalui media yang baru saja kita saksikan," terang pengunjung asal Bandung, Jawa Barat. (*)
Merayakan Warisan Budaya Indonesia Lewat Gerakan 'Kita Berkebaya' di ARTJOG 2025 |
![]() |
---|
ARTJOG 2025 - Motif: Amalan, Menyoroti Praktik Seni dalam Masyarakat |
![]() |
---|
Capaian Festival di Yogyakarta Selama 2024, Total Transaksi Mencapai Rp 109,4 miliar |
![]() |
---|
Made in Wonosari: The Origin, Kolaborasi The Melting Minds x Berkah Liar |
![]() |
---|
Tampilkan Karya Interpretasi Serat Centhini, Didik Nini Thowok Guncang Artjog 2024 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.