PHRI DIY Kritik Kebijakan Larangan Study Tour: Mekanisme yang Perlu Dibenahi, Bukan Aktivitasnya

Larangan total justru menciptakan dampak ekonomi luas, termasuk pada sektor perhotelan dan restoran di DIY.

Dok Tribun Jogja
BERLIBUR - Wisatawan menikmati perjalanan dengan becak di kawasan Malioboro, Yogyakarta. 

Menariknya, pelarangan ini justru mendorong munculnya fenomena baru: wisata edukatif yang dilakukan tanpa embel-embel institusi sekolah.

Komite, orangtua, dan siswa tetap mengadakan perjalanan bersama ke Yogyakarta, namun tanpa mencantumkan nama sekolah.

“Ketika ditanya, mereka jawab ini bukan study tour, hanya piknik bersama anak dan orangtua,” kata Deddy.

Namun, kontennya tetap mencakup kunjungan ke museum, universitas, dan destinasi edukatif lain yang lazim ditemukan dalam study tour.

Esensi kegiatan tetap sama, hanya caranya yang diubah.

Karena itu, Deddy menilai evaluasi mendalam sangat diperlukan agar tujuan kebijakan tidak menjadi kontra produktif.

Meski pasar study tour menyusut, libur panjang akhir Mei hingga awal Juni memberikan angin segar.

Okupansi hotel di DIY tercatat mencapai 70 persen pada periode 28 Mei–1 Juni 2025, dengan Kota Yogyakarta dan Sleman menjadi penyumbang tertinggi, masing-masing sekitar 80 persen.

“Rata-rata reservasi berasal dari sekolah-sekolah, terutama dari Lampung dan Jawa Timur,” ujar Deddy.

Namun, tantangan lain masih mengintai. Durasi menginap wisatawan cenderung pendek, tidak lebih dari dua hari.

Banyak wisatawan dari daerah tetangga seperti Jawa Tengah hanya melakukan kunjungan satu hari, sehingga dampaknya terhadap sektor perhotelan terbatas.

“Itu masih jadi PR bagi kami. Meningkatkan lama tinggal wisatawan adalah tantangan selanjutnya,” pungkasnya. (*)
 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved