Humaniora dan Digital Skills sebagai Strategi Sinergis Kebangkitan Nasional
PERINGATAN Harkitnas setiap 20 Mei tidak hanya menjadi refleksi historis, tetapi juga momentum untuk mengevaluasi kesiapan menghadapi tantangan
PERINGATAN Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) setiap 20 Mei tidak hanya menjadi refleksi historis, tetapi juga momentum untuk mengevaluasi kesiapan Indonesia menghadapi tantangan era disrupsi.
Di tengah arus globalisasi dan revolusi teknologi, generasi muda dituntut untuk bertransformasi dari status noob (novice) —yang terbelenggu oleh keterbatasan literasi dan krisis identitas—menuju pro (expert) yang mampu memadukan kecerdasan digital dengan kearifan humaniora.
Inilah esensi Hari Kebangkitan Nasional 2025: membangun generasi yang menguasai integrasi humaniora dan keterampilan digital sebagai fondasi strategis untuk menjawab kompleksitas peradaban abad ke-21.
Humaniora: Fondasi Etis dalam Pusaran Disrupsi Digital
Sejarah membuktikan bahwa kebangkitan suatu bangsa selalu dimulai dari kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan.
Budi Utomo (1908) menjadi bukti bahwa humaniora—melalui pendalaman sejarah, filsafat, sastra, seni, dan budaya—adalah jantung dari gerakan intelektual.
Kini, di tengah dominasi algoritma dan kecerdasan buatan, humaniora berperan sebagai penjaga etika yang mencegah degradasi moral dan disintegrasi sosial.
Tanpa pemahaman humaniora, kemajuan teknologi berpotensi melahirkan generasi yang teralienasi, mudah terpapar hoaks, dan kehilangan sensitivitas terhadap keberagaman.
Contoh konkret terlihat pada maraknya polarisasi politik di media sosial, yang mencerminkan krisis dialog antarbudaya.
Di sinilah humaniora berfungsi sebagai antidot: mengajarkan critical thinking, empati, dan apresiasi terhadap narasi kebangsaan yang plural.
Digital Skills: Akselerator Inovasi yang Berkelanjutan
Jika humaniora adalah fondasi, maka keterampilan digital menjadi katalisator yang mempercepat terwujudnya visi kebangkitan.
Generasi muda tidak hanya dituntut menguasai tools seperti AI, data analisis, atau konten kreatif, tetapi juga mampu memanfaatkannya untuk memperkuat identitas nasional.
Misalnya, penggunaan platform digital untuk melestarikan seni tradisional, atau merancang aplikasi edukasi yang mempromosikan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda.
Namun, penguasaan teknologi tanpa kesadaran humaniora ibarat pedang bermata dua.
Kecerdasan buatan bisa menjadi alat propaganda jika tidak diimbangi etika, sementara media sosial berpotensi merusak kohesi sosial tanpa literasi budaya.
Karena itu, integrasi kedua bidang ini bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan strategis.
Sinergi Humaniora-Teknologi
Fakultas Kependidikan dan Humaniora (FKHUM) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, menjawab tantangan ini melalui pendekatan pendidikan yang holistik.
Kurikulumnya dirancang untuk membentuk lulusan yang tidak hanya menguasai teori humaniora, tetapi juga terampil dalam pemanfaatan teknologi untuk transformasi sosial.
Melalui metode experiential learning dan project based learning, mahasiswa diajak mengimplementasikan ilmu kependidikan dan humaniora dalam proyek-proyek berbasis digital.
Contohnya, merancang modul pembelajaran inklusif menggunakan augmented reality (AR), atau mengembangkan kampanye literasi digital yang mengangkat kearifan lokal.
FKHUM UKDW juga menekankan kompetensi lintas budaya melalui kolaborasi dengan komunitas multietnis, memastikan lulusannya mampu menjadi mediator di tengah kompleksitas masyarakat Indonesia.
Hasilnya adalah profil lulusan yang unik: akademisi dengan jiwa humanis, praktisi teknologi yang beretika, dan agen perubahan yang responsif terhadap dinamika global.
Kebangkitan Nasional 2025: Saatnya Bertransformasi dari Konsumen menjadi Kreator
Harkitnas 2025 harus menjadi titik balik bagi Indonesia untuk beralih dari pola pikir consumer teknologi menjadi creator yang mandiri.
Ini hanya mungkin tercapai jika pendidikan mampu menyinergikan tiga elemen kunci: Nilai Humaniora sebagai panduan etis, Kecakapan Digital sebagai alat inovasi, dan Kompetensi Lintas Budaya sebagai perekat sosial.
FKHUM UKDW telah menunjukkan melalui kurikulum integratifnya bahwa visi ini bukanlah utopia.
Dari Budi Utomo hingga era metaverse, esensi kebangkitan nasional tetap sama: membangun kemandirian bangsa melalui pendidikan.
Perbedaannya, kini kita membutuhkan pendekatan yang lebih dinamis—mengombinasikan kebijaksanaan humaniora dengan kecanggihan teknologi.
Sebagai penutup, mari kita jadikan Harkitnas 2025 sebagai momentum untuk memperkuat kolaborasi antara institusi pendidikan, pemerintah, dan masyarakat.
Hanya dengan sinergi ini, Indonesia dapat bertransformasi dari noob yang tertinggal menjadi pro yang memimpin di panggung global.
Maju Terus Pendidikan Indonesia!
Ditulis oleh:
Raden Bima Adi, M.Th., M.A., Ph.D
Dosen Prodi Digital Humanities, Fakultas Kependidikan dan Humaniora
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)
Hari Kebangkitan Nasional
Fakultas Kependidikan dan Humaniora UKDW
Ekonom UKDW Sebut Meski Bunga Kredit Turun, Pengusaha Masih 'Wait and See' |
![]() |
---|
ECS 3: Centrino UKDW Angkat Branding, Ekosistem, dan Founder Sharing Session |
![]() |
---|
Perundungan dan Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan |
![]() |
---|
UKDW Kenalkan 10 Program Studi Unggulan Lewat Roadshow di Sekolah Petra Surabaya |
![]() |
---|
UKDW Melakukan Perjalanan Dinas dan Penjajakan Kerja Sama di Lampung |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.