Mafia Tanah di Sleman

Guru Honorer di Sleman Jadi Korban Dugaan Mafia Tanah, Menangis 12 Tahun Berjuang Minta Keadilan

Guru honorer di Sleman itu terancam kehilangan rumah dan tanah karena digelapkan dan sertifikatnya kini berganti kepemilikan

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Yoseph Hary W
Tribun Jogja / Ahmad Syarifudin
KORBAN MAFIA TANAH: Hedi Nudiman dan Istrinya Evi Fatimah tak kuat menahan tangis saat menceritakan perjalanan kasus dugaan mafia tanah di Sleman yang dihadapi. Mereka diduga menjadi korban mafia tanah dan terancam kehilangan rumah dan tanah seluas 1.400an meter persegi di Tridadi, Sleman. TJ/Rif 

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Hedi Nudiman mengusap matanya. Ia tak kuasa menahan tangis saat bercerita nasib pilu keluarganya, berjuang mencari keadilan karena menjadi korban dugaan mafia tanah. 

Segala upaya telah ditempuh selama 12 tahun. Menguras batin, tenaga, uang dan waktu tetapi belum juga berhasil.

Guru honorer berikut istri dan ketiga anaknya itu terancam kehilangan tempat tinggal karena rumah beserta tanah seluas 1.474 meter persegi di Dusun Paten, RT 4 RW 5, Tridadi, Kabupaten Sleman, digelapkan dan sertifikatnya kini berganti kepemilikan orang lain. 

Sebelum Hedi sang guru honorer ini buka suara soal dugaan Mafia Tanah di Sleman yang dialaminya, kasus serupa yang dialami Mbah Tupon di Bantul, lebih dulu mencuat dan kini menjadi atensi publik. 

Awal mula

BERKAS PERKARA: Hedi Nudiman dan Istrinya Evi Fatimah menunjukkan berkas perkara perjalanan kasus yang dihadapi. Mereka diduga menjadi korban mafia tanah dan terancam kehilangan rumah dan tanah seluas 1.400an meter persegi di Tridadi, Sleman.
BERKAS PERKARA: Hedi Nudiman dan Istrinya Evi Fatimah menunjukkan berkas perkara perjalanan kasus yang dihadapi. Mereka diduga menjadi korban mafia tanah dan terancam kehilangan rumah dan tanah seluas 1.400an meter persegi di Tridadi, Sleman. (Tribun Jogja / Ahmad Syarifudin)

Evi Fatimah, istri Hedi Nudiman, bercerita, sertifikat tanah miliknya bisa berganti nama bermula ketika dirinya bertemu dengan Suharyati dan Sujatmoko.

Dua orang itu merupakan Ibu dan anak, yang ingin mengontrak rumah warisan orangtuanya untuk keperluan usaha konveksi di tahun 2011.

Harga sewa menyewa disepakati Rp25 juta rupiah per lima tahun. Saat itu, karena butuh penghasilan tambahan, Ia menyepakatinya. 

"Saya dikasih uang Rp1 juta rupiah sebagai uang tanda jadi. Tapi sertifikat tanah saya diminta mereka, katanya buat jaminan," kata Evi, Senin (12/5/2025)

Semula Evi tidak menaruh curiga.

Dibawa ke notaris

Tetapi, berjalan waktu, Ia dibawa oleh ibu dan anak tersebut ke kantor seorang notaris di wilayah Kelurahan Tirtomartani, Kalasan, dengan dalih untuk mengurus pengesahan surat sewa menyewa mengontrak rumah. 

Evi membubuhkan tanda tangan karena katanya hanya perjanjian sewa menyewa biasa.

Anehnya, Evi mengaku tidak diberi kesempatan untuk membaca lengkap isi surat tersebut.

Surat hanya dibacakan sekali oleh staf notaris, tanpa ia tahu maksud dan tujuannya. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved