Apa Itu Dwifungsi ABRI yang Dihubungkan dengan Revisi UU TNI?

Apa itu Dwifungsi ABRI? Dwifungsi ABRI, yang kini disebut TNI merupakan doktrin yang memberi militer peran ganda, yakni sebagai alat pertahanan

pinterest
ILUSTRASI REVISI UU TNI: Apa Itu Dwifungsi ABRI yang Dihubungkan dengan Revisi UU TNI? 

TRIBUNJOGJA.COM - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini tengah dibahas menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan. 

Pasalnya, perubahan aturan tersebut berpotensi membuka kembali peluang prajurit aktif TNI menduduki lebih banyak jabatan di kementerian dan lembaga negara. 

Banyak pihak menilai, kebijakan ini bisa menghidupkan kembali konsep dwifungsi TNI yang pernah diterapkan pada era Orde Baru.

Apa Itu Dwifungsi ABRI?

Dwifungsi ABRI, yang kini disebut TNI merupakan doktrin yang memberi militer peran ganda, yakni sebagai alat pertahanan keamanan negara sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik. 

Konsep ini berkembang pesat di masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Merujuk pada buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dkk., dwifungsi membuat militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga terlibat aktif dalam pemerintahan.

Dampaknya, banyak perwira aktif yang menduduki posisi strategis di lembaga eksekutif dan legislatif, bahkan hingga tingkat daerah.

Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution dalam konsep "Jalan Tengah" pada 1958. 

Nasution menginginkan militer tetap berperan dalam politik guna menjaga stabilitas negara, sebuah pemikiran yang kemudian menjadi landasan kebijakan di masa Orde Baru.

Dampak Dwifungsi di Masa Lalu

Pada puncaknya di tahun 1990-an, peran militer begitu mendominasi pemerintahan Indonesia. 

Mereka menduduki posisi strategis mulai dari kepala daerah, menteri, hingga pimpinan perusahaan milik negara. 

Hal ini mengurangi keterlibatan sipil dalam pengambilan kebijakan serta mempersempit ruang demokrasi.

Akibatnya, sistem pemerintahan menjadi kurang transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. 

Dalam banyak kasus, keberadaan militer di berbagai sektor pemerintahan justru memperkuat rezim yang berkuasa dan menghambat reformasi demokrasi.

Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi

Setelah Reformasi 1998, dwifungsi TNI perlahan dihapuskan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa hanya ada 10 kementerian/lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif. 

Namun, dalam revisi terbaru UU TNI, jumlah tersebut berpotensi bertambah menjadi 16.

Beberapa kementerian dan lembaga baru yang kemungkinan dapat diisi oleh anggota aktif TNI antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional 

Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Menurut anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin, penambahan BNPP ke dalam daftar lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif adalah hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU TNI

“Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI,” ujarnya, dikutip dari laman Kompas.com.

Namun, langkah ini memicu perdebatan. 

Banyak pihak menilai bahwa perluasan jabatan bagi anggota aktif TNI dapat mengarah pada bangkitnya kembali dwifungsi TNI

Jika dibiarkan, hal ini bisa mengurangi porsi sipil dalam pemerintahan dan mengancam demokrasi yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade.

Akankah Militer Kembali Mendominasi?

Sejumlah pakar politik dan akademisi menyuarakan keprihatinan atas kemungkinan bangkitnya peran dominan militer dalam urusan sipil. 

Pengamat militer dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Kusnanto Anggoro, menyebut bahwa keterlibatan TNI dalam pemerintahan sebaiknya dibatasi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara sipil dan militer.

“Sebaiknya ada batasan yang jelas, agar militer tetap fokus pada pertahanan dan keamanan negara tanpa ikut campur terlalu jauh dalam kebijakan sipil,” ujarnya.

Revisi UU TNI memang masih dalam tahap pembahasan. 

Namun, jika tidak diantisipasi dengan baik, revisi ini bisa membuka jalan bagi kembalinya peran ganda militer dalam pemerintahan, sebuah langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. 

Apakah dwifungsi benar-benar akan hidup kembali? Publik kini menunggu keputusan final dari para pembuat kebijakan.

( Tribunjogja.com / Kompas.com )

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved