Puisi

10 Puisi Terbaik Karya Mochtar Lubis 

Seperti dalam karya jurnalistik dan novelnya, puisi-puisi Mochtar Lubis sering kali mengandung kritik sosial dan politik. 

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Hari Susmayanti
zoom-inlihat foto 10 Puisi Terbaik Karya Mochtar Lubis 
tribunnews.com
Penyair Mochtar Lubis

TRIBUNJOGJA.COM - Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan sastrawan Indonesia yang dikenal luas. 

Ia dikenal sebagai sosok yang kritis dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi.

Mochtar Lubis menghasilkan berbagai puisi, novel dan cerpen yang terkenal, di antaranya "Senja di Jakarta".

Seperti dalam karya jurnalistik dan novelnya, puisi-puisi Mochtar Lubis sering kali mengandung kritik sosial dan politik. 

Berikut puisi-puisi terbaik karya Mochtar Lubis

1. Hujan 

daun kering

deras lari

dilomba air

aiih, apes,

rungut bang beca

2. 1945-1960 

Teriak dan pekik peperangan

Bunga-bunga bertaburan

Pesing, Semarang, Surabaya

Bandung, Bekasi dan Krawang

Merdeka atau mati!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Mengguntur tekad cita-cita

pemuda dan rakyat di tahun

empat puluh limaan

janji kemerdekaan manusia

Indonesia ditebus dengan

darah dan mayat berhamburan

di seluruh Nusantara

dari pantai ke pantai, lembah ke lembah,

gunung ke gunung, sungai ke sungai,

di jalan-jalan dalam kota

dengan darah angkatan empat lima menulis

rakyat kami mesti merdeka dari

kezaliman dan penindasan.

Tapi kemudian setelah merdeka

banyak mereka lupa sumpah empat lima

kembalilah kezaliman dan penindasan

Teror bertualang di kota dan desa

Ketakutan masuk memeras hati

Kini di tahun enam puluh enam

Terdengar di luar tembok rumah penjara

Gegap gempita teriak perang

Dentuman bedil dan gemuruh panzer

Arif Rachman, Zubaedah


3. Malam 30 September-1 Oktober 1965

Gelap malam membelenggu kita

Kelompok-kelompok hitam bergerak dari jalan ke jalan

Pekik mesin truk dan jip

kerincing senjata dan topi besi

bisik-bisik perintah maut

setan-setan gelap dari perut bumi

lapar darah orang-orang tak berdosa

derap sepatu nafas harimau

kezaliman, keharaman, kebengisan

berkeliaran dalam kota

dentum senapan kilat pisau

jerit istri, tangis anak-anak

Yani, Parman, Pandjaitan

Soeprapto, Soetoyo, Tendean

Prajurit yang dibunuh dalam gelap malam

Dan Irma kecil, gadis manis tak tersenyum lagi

Ya, Tuhan, tak Engkau lindungi kami?

Engkau biarkan setan-setan

dan binatang liar merajalela?

Mengapa Irma kecil tak boleh tertawa lagi?

Tersenyumlah gadis kecil

dalam sorga

Tidurlah prajurit-prajurit di surga,

di sana tak ada kezaliman dan pengkhianatan

di sana kalian tidur tak terganggu

oleh kelompok hitam dalam gelap malam

membawa perintah maut

dan kezaliman yang haus darah

manusia tak berdosa

Tidurlah di sorga prajurit-prajurit bangsa

Tersenyumlah di sorga, Irma kecil.

4. Matahari-Matahari! 

Engkau yang tiap hari

Menyinari bumi kami

Dan mengatur siang dan malam kami

Engkau bersinar pada saat ini

Ketika kami berkumpul mencari


Apa yang harus kami lakukan

Untuk masa kini dan masa depan

Bangsa Indonesia, anak-anak kami

anak-anak cucu kami dan cucu-cucu mereka

sinarilah hati kami dan pikiran kami..


agar menjadi terang benderang

hingga kami dapat melakukan

yang perlu kami lakukan

agar generasi sesudah kami, anak-anak dan cucu-cucu kami

dapat meneruskan langkah bangsa kami

ke masa depan yang sudah menunggu di balik pintu waktu

Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa kami


5. Tukang Sihir Santos 

Alejandro, perajin kulit, tingginya hanya setinggi bangku tuanya.

Menurut gunjingan orang, dia mengendarai

bangku itu, bagai naik kuda, melayang di langit yang digores bulan

mengadakan pertemuan di bukit bukit tak dikenal, penuh batu karang.

di sana dia menari di tempat dewa dewa lama bersembunyi.

Alejandro, perajin kulit, pernah dijuluki tukang sihir,

yang suatu hari mempergoki isterinya bertubuh besar. terpancang

pada senjata abangnya yang lebih besar

dan mengorek matanya sendiri karena sedih.

Alejandro, yang duduk di desa ibunya

punggungnya yang kurus bersandar ke tembok tanah

Matanya buta dalam terang matahari pagi ini

Telah ku lihat, dia sama sekali tak terbang.

6. Sebuah Pemberian 

Ini sebuah nyanyi

tentang pemberian kesabaran

tentang membuka

perlunya melangkah sendiri

selalu, tambah dalam, ke

 

Ini adalah sebuah sajak

menentang terang

sebuah puji

pada kegelapan

 

Bawalah sebuah lilin

kamar hangat

Ini adalah sebuah nyanyi

 

7. Perempuan-Perempuan Tua 

Perempuan perempuan tua New Mexico

menunggu, menunggu di luar gereja mereka, ditiup

angin kencang, gaun hitam mereka

 

dari sutera dan kain kasa, janda janda

Isa, wajah kemerut kaku

 

rekah bagai lumpur, mata terarah

dalam pada

lonceng mencanang

masuk

membakar lilin untuk sebuah ruh, untuk

tempat tidur yang dingin, lampu minyak berkelip

angin menguras dinding tanah liat

sebutir demi sebutir


8. Tangis

 anak burung

jatuh

diterkam kucing

di basah

embun


9. Rindu 

api bakar nyala

ditiup angin

cakrawala

 

10. Gas Air Mata

Anakku, Ade, kelas dua SMP

Ikut dengan Kappi ke Deplu

mereka diserang dengan gas air mata

tapi lalu mengamuk menghantam

Dan kemudian pulang, mata merah

tapi hati bangga, membawa

secabik kain pintu Deplu

perlihatkan pada adiknya, Ira,

nah, ini tanda mata dari Bandrio,

katanya bangga (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita) 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved