Jeritan Dosen ASN di UGM: Bekerja 24 Jam, tapi Tukin Tak Kunjung Digenggam
Alfarisi Akbar Effendi, Koordinator Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi) Jogja-Jateng, mengungkapkan realitas pahit
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Setiap pagi, ribuan dosen di Indonesia menyambut hari dengan semangat, meski di dada mereka ada getir yang tak bisa ditepis.
Mereka berdiri di depan kelas, mengajar dengan penuh dedikasi, membimbing mahasiswa yang haus ilmu, menjawab pertanyaan kapan saja, bahkan di luar jam kerja.
Akan tetapi, di mata negara, mereka seperti bayangan: ada, tapi tak dianggap.
Alfarisi Akbar Effendi, Koordinator Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi) Jogja-Jateng, mengungkapkan realitas pahit yang harus mereka telan.
Tunjangan kinerja (Tukin) yang menjadi hak mereka, tak kunjung dibayarkan, bahkan sejak tahun 2020.
“Kami bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Kalau mahasiswa bertanya soal materi, soal perkuliahan, kami tidak bisa diam. Kami harus menjawab. Ini bentuk pelayanan kami sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN),” ujar Alfarisi.
Alfarisi, bersama dengan ribuan dosen seluruh Indonesia getol menyuarakan pencairan tukin.
Mereka menggelar aksi di mana-mana, termasuk di Jakarta beberapa waktu lalu.

Terkini, para dosen ASN di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menggelar aksi menuntut pencairan tukin di Balairung UGM, Rabu (12/2/2025).
Di tengah hari yang terik, selama satu jam, para dosen ASN, yang didukung oleh dosen tetap non-ASN, tenaga kependidikan, pekerja kampus yang tergabung dalam Serikat Pekerja Fisipol UGM (SPF UGM), membentangkan sejumlah spanduk dan poster terkait pencairan tukin.
“Pejabat makan terus, pendidikan tak diurus,” begitu salah satu tulisan spanduknya.
Para orator turut menyinggung kebijakan pemerintah yang serampangan, memilih untuk mengabaikan dosen tapi mengangkat seorang selebriti sebagai staf khusus atau ingin efisiensi, tapi kabinet gemuk.
Mahasiswa yang peduli dengan nasib dosennya pun turut ikut mendukung, dengan berdiri bersama dalam barisan maupun jadi orator di depan.
“Ini wujud solidaritas untuk para dosen ASN yang telah menyuarakan isu ini sejak November 2024,” kata Koordinator SPF UGM, Amalinda Savirani.
Aksi ini memang menuntut pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) agar segera mencairkan anggaran tukin Rp 2,5 triliun yang telah dijanjikan sebelumnya.
Hingga bulan berganti, tukin yang dijanjikan pun tetap tidak turun, apalagi dirapel sejak 2020.
Negara acapkali tidak melihat dosen sebagai pegawai. “Yang dianggap pegawai hanya mereka yang ada di kantor,” lanjut Alfarisi
Karena itu, tunjangan kinerja yang seharusnya menjadi hak, tak kunjung mereka dapatkan.
Janji yang ditelan waktu
Tahun demi tahun berlalu, tetapi tak ada yang berubah.
Sejak 2020 hingga 2024, nomenklatur kementerian tidak berubah, tetap Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Namun, tukin untuk dosen ASN tak pernah dianggarkan.
“Apakah ini kelalaian? Atau sengaja dilupakan?” tanyanya.
Sinar harapan sempat muncul lewat Keputusan Mendikbudristek Nomor 447/P/2024 tentang Nama Jabatan, Kelas Jabatan, dan Pemberian Besaran Tunjangan Kinerja Jabatan Fungsional Dosen di Kemendikbudristek. Regulasi itu menjanjikan pembayaran tukin mulai 1 Januari 2025.
Ironisnya, harapan itu kandas begitu saja ketika terjadi pergantian menteri, termasuk pergantian nomenklatur kementerian.
Regulasi itu dianulir, dianggap cacat hukum, dan nasib tukin dosen ASN kembali mengambang.
“Sampai detik ini, katanya sudah diharmonisasi, menunggu Perpres. Tapi kabarnya entah ke mana,” keluhnya.
Regulasi itu juga mengategorikan pemberian tukin kepada dosen ASN di satuan kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU) non-remunerasi.
Sementara, dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dikecualikan dengan alasan bahwa kampus PTNBH mampu membiayai tukin dosen.
Dosen ASN seperti Alfarisi tak menuntut lebih, mereka hanya ingin hak yang seharusnya diberikan.
“Kami semua ASN. Kami punya status yang sama. Tapi kenapa negara masih mengotak-kotakkan dunia kampus?”
“Makanya, perjuangan ini adalah tukin for all atau tukin untuk semua. Negara bilang tidak ada fiskal dan hanya menganggarkan Rp2,5 triliun. Itu angka besar, tapi kalau dibagi ke seluruh dosen se-Indonesia jadi tidak seberapa,” beber Alfarisi lagi.
Tak sekaya kelihatannya
Masyarakat sering membayangkan dosen hidup berkecukupan, sejahtera, dihormati. Sayangnya, kenyataan jauh dari itu.
“Gaji CPNS dosen hanya Rp2,3 juta. Kalau sudah PNS, naik sedikit jadi Rp2,9 juta. UMR Jakarta saja jauh lebih tinggi. Kami mau hidup dari apa?” ucap Alfarisi dengan suara tajam.
Mereka yang mengabdi di dunia akademik, justru harus bertahan dengan penghasilan yang begitu minim.
Sementara di negara lain, profesi dosen dihargai begitu tinggi.
“Timor Leste saja berani kasih gaji lebih besar. Malaysia, Singapura, Thailand, semuanya lebih baik. Kenapa Indonesia tak bisa?”
Alfarisi menutup pembicaraan dengan nada getir. “Kita semua punya cita-cita yang sama, Indonesia Emas, tapi itu hanya omong kosong kalau kesejahteraan dosen terus diabaikan.” (Ard)
Bendera One Piece Viral, Dosen UGM: Bentuk Kekecewaan Masyarakat |
![]() |
---|
Dosen UGM Tekankan Transparansi dan Audit Sosial tentang Kenaikan Bantuan Dana Parpol |
![]() |
---|
Dosen UGM: Angka Pengangguran Turun Tak Berarti Kondisi Pasar Naker Membaik |
![]() |
---|
Dosen UGM Tanggapi Pembentukan Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara: Asal Tidak Tambah Beban |
![]() |
---|
Dosen UGM: RUU Penyiaran Multitafsir, Perlu Ditinjau Ulang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.