RUU Minerba Perbolehkan Kampus Kelola Tambang, Rektor UII Sebut Tidak Setuju

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid mengunungkapkan ketidaksetujuannya terkait RUU Minerba tersebut.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/Ardhike Indah
Rektor UII, Fathul Wahid, saat ditemui wartawan pada Selasa (21/1/2025) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau Baleg DPR RI menyepakati hasil penyusunan Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi usulan inisiatif DPR.

Salah satu penyampaian usulan DPR adalah pemberian izin usaha tambang secara prioritas pada perguruan tinggi.

Disebutkan Ketua Baleg, Bob Hasan, Senin (20/1/2025) pemerintah ingin semua masyarakat mendapatkan hak yang sama dalam mengelola sumber daya alam.

Oleh karena itu, pemerintah juga ingin memberikan peluang kepada perguruan tinggi agar bisa ikut mengelola sumber daya alam, khususnya minerba.

Menanggapi hal tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid mengunungkapkan ketidaksetujuannya terkait RUU Minerba tersebut.

“Saya tidak setuju karena kampus wilayahnya tidak di situ dan betul memang ada kampus yang mendidik menjadi ahli di bidang itu dan memang perlu dipastikan bahwa seluruh proses penambangan harus dilandasi dengan etika tinggi sehingga keberlangsungan lingkungan tetap terjaga,” kata Fathul kepada wartawan, Selasa (21/1/2025).

Bukan tanpa alasan ia menyatakan ketidaksetujuannya.

Baca juga: Pakar HTN UII tentang Penghapusan Presidential Threshold: Tepat untuk Akhiri Oligarki Parpol

Menurut Fathul, ketika kampus masuk ke ranah pengelolaan tambang, dikhawatirkan akan ada upaya untuk meraup keuntungan yang tinggi, tetapi mengabaikan lingkungan dan warga yang tinggal di daerah tambang.

Dikatakan Fathul, ada baiknya, kampus tetap fokus pada misi utama, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Sementara, hilirisasi dalam dunia pertambangan bisa ditangani oleh pihak lain.

Ia tidak menampik, jika kampus boleh mengelola tambang, maka mahasiswa yang studi di program tersebut bisa segera mendapatkan pekerjaan.

“Betul, tapi tetap harus dengan landasan etika yang tinggi. Kita sudah menjadi saksi, banyak usaha pertambangan yang mengabaikan isu lingkungan. Kita juga jadi saksi, hampir semua laporan lembaga independen, selalu saja hasilnya bisnis pertambangan punya andil luar biasa dalam kerusakan itu,” beber dia.

Dia menyarankan, kampus bisa mendidik tenaga ahli dengan kesadaran tinggi terkait etika.

“Saya khawatir juga, ketika kampus masuk ke ranah pertambangan, isu itu tidak menjadi sensitif karena logika berbisnisnya menjadi dominan. Uang itu kadangkala menghipnotis dan kalau itu terjadi, berbahaya,” terangnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved