Pasar Kramat di Magelang Ada Tiap Jumat Pahing, Jadi Tujuan Bernazar Hingga Berburu Kuliner Jadul

Pengunjung datang dengan harapan, doa dan syukur, membuat Pasar Kramat di Magelang ini berbeda dengan pasar pada umumnya.

Tribun Jogja/ Yuwantoro Winduajie
Pasar Kramat di Dusun Kramat, Desa Congkrang, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang 

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Di sebuah sudut Dusun Kramat, Desa Congkrang, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, terdapat tradisi unik yang terus dilestarikan masyarakat setempat. 

Setiap Jumat Pahing, masyarakat di sana mengadakan Pasar Kramat yang menjadi denyut kehidupan desa dengan segala aktivitasnya yang sarat makna budaya dan spiritual.

Pasar ini bukan sekadar tempat transaksi jual beli, tetapi juga menjadi destinasi bagi mereka yang memiliki nazar. 

Adapun nazar dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diterima atau untuk memenuhi hajat yang diinginkan.

Pengunjung datang dengan harapan, doa, dan syukur, membuat Pasar Kramat berbeda dengan pasar pada umumnya.

Pasar Kramat diadakan di sepanjang jalan masuk menuju Dusun Kramat. 

Pada Jumat (10/1/2025), para pedagang tampak berjajar saling berhadapan, menjajakan aneka jajanan khas yang mengingatkan pada masa lalu. 

Cenil, lupis, gatot, ketan dan gorengan menjadi sajian utama, ditemani bubur opor dan ketupat luwar.

Di tengah keramaian pasar, terdapat kotak amal dan pepunden, tempat bagi pengunjung yang ingin menunaikan nazarnya. 

Mereka juga bertemu dengan sesepuh setempat untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Baca juga: Diduga Ikut Balap Liar di Mertoyudan Magelang, Pelajar Perempuan Terluka dalam Kecelakaan

Rame (60), warga Pucungrejo, Muntilan, adalah salah satu pengunjung yang datang membawa cucunya. 

Di pasar itu dia bermaksud menemui warga yang diyakini sebagai juru kunci.

“Nazarnya biar cucu saya cepat jalan. Setelah jalan, saya ajak ke Pasar Kramat. Cuma beli ketupat luwar untuk mengeluarkan nazar,” ungkapnya pada Jumat (10/1/2025).

Pengunjung lainnya, Dila Eka (29), warga Dukun, Kabupaten Magelang, juga berbagi kisahnya. 

Ia mengaku sudah beberapa kali berkunjung ke Pasar Kramat untuk menunaikan nazar dan meminta doa kepada sesepuh. 

"Semua ini kepercayaan, tapi saya percaya. Alhamdulillah, sudah beberapa kali tiap Jumat Pahing menyempatkan diri ke sini," katanya.

Dia menjelaskan, orang-orang yang datang ke Pasar Kramat biasanya memiliki nazar, seperti membawa anak yang sedang sakit dengan harapan sembuh setelah berkunjung ke sana.

Adapun Dila datang ke Pasar Kramat untuk bernazar agar segera mendapatkan jodoh.

"Nazarnya, kalau sudah didekatkan dengan jodoh, saya mau ke sini. Alhamdulillah sudah ada, terus ke sini lagi, minta disegerakan," ujar dia.

Setelah meminta doa, pengunjung sering memberi uang seikhlasnya kepada sesepuh dan menyebarkan uang receh sebagai simbol nazar yang telah ditunaikan. 

"Setelah didoakan memberi (uang) seikhlasnya, keluar dari rumah mbah (sesepuh) lalu memberi uang receh disebar semampunya, nggak juga tidak apa-apa," tuturnya.

"Selesai itu, menikmati jajanan khas seperti bubur dan ketupat luwar untuk oleh-oleh," sambungnya.

Tetap Bertahan

Meski telah konsisten diadakan hingga saat ini, Pasar Kramat tak lagi seramai dahulu. 

Saryati, pedagang bubur opor, mengaku pasar mulai sepi sejak beberapa tahun terakhir. 

"Saya ke sini tiap hari Jumat Pahing saja. Mulai jam 5 sampai jam 10 sudah sepi. Khasnya bubur opor. Kalau dulu lebih ramai, sekarang yang jualan tinggal sedikit," ujarnya.

Baca juga: Cerita Dibalik Nama Jembatan Kali Progo Sucipto Suwigo Magelang, Ada Peran Ganjar Pranowo

Setiap hari, Suryati bisa menghabiskan 2,5 kilogram bubur. 

Saryati telah berjualan di pasar itu sejak lama, namun dia tak mengetahui persis sejak kapan pasar tersebut eksis. 

"Sudah cukup lama jualan. Biasanya warga datang ke sini jika memiliki nazar," ujarnya. 

Maroyah (72), penjual cenil dan gatot asal Paremono, Kecamatan Mungkid, juga mengungkapkan hal serupa. 

"Tiap Jumat Pahing jualan di sini. Mulai ramai jam 06.00 pagi sampai 07.30 WIB," katanya.

Sementara itu, salah satu perangkat Desa Congkrang, Triinstan menyebut Pasar Kramat telah ada sejak zaman dahulu, diwariskan dari generasi ke generasi. 

Tradisi ini konon berkaitan dengan cerita Sunan Kalijaga.

“Katanya dulu Sunan Kalijaga potong rambut, kuku, dan meninggalkan jubah di sini. Itu harinya pas Jumat Pahing,” ungkapnya.

Kepercayaan itu kemudian menjadi dasar tradisi untuk datang ke Pasar Kramat dengan membawa nazar. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved