Mahasiswa UIN Jogja: Penghapusan Presidential Threshold untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif

Menurutnya, kalau sistem pilpres masih menggunakan Presidential Threshold 20 persen, maka akan sulit mendapatkan tokoh baru.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/Ardhike Indah
Ki-ka: Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Oktavia dan Faisal Nasirul Haq, empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengajukan uji materiil Pasal 222 UU Pemilu ke MK, Jumat (3/1/2025) di kampus. MK mengabulkan permohonan mereka untuk menghapus presidential threshold pada Kamis (2/1/2025) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Kamis (2/1/2025).

Putusan tersebut mengabulkan permohonan perkara dengan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diusung oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

Keempatnya merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Enika, mahasiswa yang juga pemohon mengatakan alasannya melakukan uji materiil terhadap pasal di UU Pemilu itu.

Menurutnya, sebagai pemilih, masyarakat dianggap sebagai obyek demokrasi, bukan subyek demokrasi.

“Kenapa? Karena permohonan kita terkait dengan UU Pemilu, pasti legal standingnya akan digugurkan di Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, kami berargumentasi di legal standing kami, bahwa kami ini subyek demokrasi, bukan obyek. Maka, legal standing kami seharusnya diterima,” kata Enika kepada wartawan di kampus, Jumat (3/1/2025).

Ia menjelaskan, dari sana, timbul kajian baru, termasuk tentang pemilihan presiden (Pilpres) sebelumnya.

Enika menyebut, dalam pilpres ada distorsi representasi.

Distorsi representasi dalam konteks pilpres mengacu pada kondisi di mana hasil pemilu atau distribusi kursi/kekuasaan tidak mencerminkan secara proporsional dukungan suara yang diberikan oleh rakyat.

“Argumentasi kami, kami menyatakan bahwa ada one man, one vote dan one value. Nah, di one value ini ada permasalahan, ada satu nilai. Satu nilai ini digunakan dalam satu periode masa pemilu, tapi sayangnya kontinuitas lima tahunan kemudian tidak berjalan,” katanya.

Baca juga: Kisah Mahasiswa UIN Jogja yang Memenangkan Gugatan Penghapusan Presidential Threshold di MK

Dijelaskan Enika, nilai di tahun 2024 bakal digunakan di tahun 2029 dan itu membuktikan adanya distorsi representasi.

“Terlihat dari mana? Dari suara 2019 di 2024, dengan fakta, misalnya partai politik ada yang mendapatkan 19 persen di tahun 2019 dan hanya 16 persen di tahun 2024. Ini tiga persen turun,” jelasnya.

Enika melanjutkan, pasangan calon yang diusung juga tidak mampu memenangkan kontestasi pilpres.

“Di situ, kita analisis, ada distorsi representasi. Kenapa ini jadi fokus? Sebagai seorang mahasiswa, kita lihat bahwa representasi calon presiden tidak sesuai dengan preferensi kami. Contohnya, dari tiga capres-cawapres kemarin, berapa banyak yang membahas lingkungan atau perempuan? Kalau kita buka kontestasi itu lebih luas, kami berharap bahwa ada capres-cawapres itu perempuan, yang bisa membawa isu domestik ke ranah nasional,” ungkap dia.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved