Gede Urip: Jangan Takut Jadi Petani

Gede Urip memang sosok unik. Pria kelahiran 30 November 1980 ini sejatinya seorang sarjana Akuntansi jebolan Unmer Malang.

|
Editor: ribut raharjo
zoom-inlihat foto Gede Urip: Jangan Takut Jadi Petani
Istimewa
Gede Urip: Dengan manajemen yang tepat, petani bisa punya tabungan harian hingga “deposito”

Sepuluh tahun bergelut dalam bidang pertanian membuat Gede Urip semakin teguh pada pilihannya. Selain bisa menemani langsung tumbuh kembang buah hati, Gede juga bisa membaktikan dirinya, ngayah alias kerja bakti sebagai penyarikan (sekretaris) di desanya. Tidak hanya itu, ia juga bisa menyumbangkan pikirannya dengan terlibat dalam pembentukan awig (hukum), serta mencatat semua kegiatan masyarakat adat.

Masih banyak yang ingin dilakukan Gede bersama para petani di desanya. Membuka kesadaran mereka dengan menerapkan budidaya, pemanenan, penanganan pascapanen yang sesuai dengan standar operasional prosedur; menghubungkan petani dengan pengusaha; termasuk meningkatkan literasi ekonomi dan hukum merupakan sebagian mimpinya.  

“Yang terakhir ini sangat penting. Tanpa perlindungan hukum, tanah kita bisa jatuh ke tangan orang asing. Jika ini terjadi, maka pelaksaan Tri Hita Karana dan angan Bali yang jagathita alias sejahtera, makmur dan bahagia, muskil terwujud,” imbuhnya.

Agus BH: Percaya Tabur Tuai

Agus Budi Harja aslinya pensiunan dosen Agama Kristen di Universitas Udayana Bali. Pria kelahiran Solo, 28 Agustus 1962 ini menceburkan diri di dunia pertanian lebih karena dorongan hati. Ia merasa trenyuh melihat petani Indonesia yang rata-rata masih berpenghasilan rendah. Menurut BPS, pada 2021, sejumlah 72,19 persen petani kita tergolong petani skala kecil dengan pendapatan bersih rata-rata Rp 5,23 juta per tahun. 

Keprihatinan suami Wardani Mumpuni ini  makin bertambah manakala menyaksikan petani yang tertimpa musibah. Sudah jatuh tertimpa tangga. Tidak hanya gagal panen, sering mereka direkomendasikan pihak-pihak tertentu membeli pupuk atau obat yang tak murah harganya. Untung kalau memberi solusi, tak jarang berbagai produk pupuk dan insektisida ini tak membawa hasil dan membuat petani makin terkuras kantongnya. 

Persis yang dialami Nyoman Seriartama (43). Budidaya padi organik milik Nyoman atau yang biasa disapa Carik ini gagal total. Padahal umumnya setelah 50-60 hari pasca fase vegetatif, padi akan memasuki fase generatif. Pada fase ini, pertumbuhan reproduksi seharusnya sudah dimulai. Tapi padi milik Carik yang sudah berumur 70 hari tidak tumbuh maksimal. Sebagian memang berbunga dan ada yang berbuah. Tapi buahnya kecil-kecil dan tidak banyak. Batangnya pun kurus-kurus. 

Agus BH (bertopi) bersama Carik
Agus BH (bertopi) bersama Carik (Istimewa)

Melihat kondisi ini, Agus menawarkan bantuannya. “Padi Bapak ini pasti gagal. Ganti saja dengan padi yang baru. Saya akan bantu dengan cara menyehatkan tanahnya terlebih dahulu. Pupuk nanti saya sediakan. Pokoknya, saya akan dampingi Bapak secara rutin sampai Bapak berhasil,” ujar Agus.

 Agus tidak pernah ingkar. Meski domisilinya cukup jauh, Malang, Jawa Timur tepatnya, jika sudah berjanji ia akan menepati. Itulah yang dilakukan Agus kepada Gede Urip dan yang lain. Agus mendampingi Gede sejak lima tahun lalu dan itu terus ia lakukan hingga sekarang. 

Gede kini sudah sangat mahir dalam urusan kakao. Karena keahliannya, Oktober 2024 lalu, Gede diajak sang Mentor membantu memperbaiki pohon kakao yang rusak di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Jayapura, Papua.

“Gede ini hebat. Murah hati dan ringan tangan. Siapa saja yang sedia belajar, pasti akan dibantu,” pujinya.

Agus memang tidak hanya mengajari petani binaannya melulu soal dunia tanam-menanam. Ia juga membekali mereka dengan kehidupan. Ayah Grace Permata Hati (26) dan Gracia Amethyst Christi (19) memberi teladan, yakni membantu tanpa meminta imbalan. Semua gratis.

“Nasihat saya sederhana. Jika berhasil, mereka juga tidak boleh pelit ilmu. Di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang misalnya, ada 3 petani binaan: Suparman, Jumanto dan Ngatiran. Ketiganya tidak hanya berhasil sebagai petani kakao, tapi juga dihubungkan dengan pabrik sehingga dapat harga bagus.

Mereka juga merangkap sebagai pengepul. Saya bilang, mereka harus kasih harga ke petani yang terbaik. Kalau sampai saya dengar ada petani ngeluh kamu nekan harga, maka kerja sama bisa saya hentikan,” tegasnya.

Agus percaya hukum tabur tuai. Ia tahu ada beberapa petani yang dibantunya tidak jujur. Ada yang memanipulasi data demi keuntungan diri sendiri. Mereka pinjam bank dan setelah dana turun, uang dimakan sendiri.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved