Mubeng Kampus Jogja

Pakar UGM: Pemerintah Jangan Tergantung Impor Susu untuk Wujudkan Program Unggulan Prabowo-Gibran

Pemerintah sebaiknya hindari ketergantungan impor susu agar tak jadi mumpung bagi pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan dari agenda negara

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Shutterstock
Ilustrasi susu sapi 

Soal rencana pemerintah untuk melakukan impor sapi dari Australia, New Zealand, Brazil, atau  Eropa untuk memenuhi kebutuhan susu nasional tahun 2029 adanya peningkatan jumlah sapi perah betina dewasa menjadi 4x lipat dari saat ini, atau kurang lebih sebesar 2,3 juta ekor.

Menurut Widodo, itu memerlukan usaha yang luar biasa dengan risiko tidak sedikit.

“Harapannya produksi susu akan meningkat 6 kali lipat menjadi 6 juta ton. Akan tetapi, mendatangkan ternak dalam jumlah besar seperti itu memerlukan tahapan yang sangat teknis dan saya kira membutuhkan effort yang luar biasa dengan mengikuti peraturan impor dari negara asal dan negara kita sendiri,” ujar Widodo menanggapi.

Widodo menilai negara perlu mengikuti peraturan negara asal, Peraturan Menteri Perdagangan No. 29 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, serta mematuhi protokol Badan Karantina Pertanian, termasuk segala dokumen persyaratannya.

“Salah satu yang perlu dicermati adalah karantina. Jangan sampai ternak datang membawa penyakit bawaan yang dapat menyebar ke ternak lokal seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),” katanya.

Tidak hanya dari segi birokrasi importasi saja, negara dan pelaku usaha  juga perlu memikirkan lokasi kandang, kesediaan hijauan yang baik sebagai pakan ternak, serta kesediaan lahan untuk hijauan.

Akibatnya, akan muncul kompetisi penggunaan lahan bagi manusia dan hewan ternak.

”Program kemandirian susu jangan hanya menguntungkan industri besar peternakan sapi perah, tetapi juga ditujukan untuk pengembangan peternakan sapi perah rakyat, baik melalui koperasi atau kelompok peternak,” tegas Widodo.

Disamping itu, diperlukan skema yang berlandaskan pada kerja sama antara korporasi besar dengan inti rakyat.

Menurutnya, akan lebih baik bila rakyat dapat ikut mengembangkan sapi yang disediakan melalui korporasi besar misalnya.

“Jika memungkinkan juga  untuk masyarakat peternak, koperasi dan peternakan rakyat yang sudah eksis dengan skema yang memungkingkan mereka bisa memiliki, ini akan lebih riil,” tandasnya.

Melalui skema tersebut, Widodo menuturkan akan ada lapangan kerja yang kian merebak, produksi susu akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, jumlah peternak turut meningkat, serta mewujudkan transformasi industri yang tangguh dan berdampak pada transformasi konsumsi susu nasional.

“Landscape impor sapi seperti ini jauh lebih baik agar tidak sampai mematikan produsen susu dalam negeri karena harganya mayoritas sedikit lebih mahal daripada impor, walaupun secara praktis-ekonomis memang lebih cepat impor susu,” terangnya.

Widodo berharap sektor peternak rakyat dan koperasi akan lebih berdaya melalui mapping lokasi dengan kondisi agroekologis yang mendukung, khususnya di luar Jawa mengingat sebagian wilayah pulau Jawa sudah terjangkit endemik PMK.

Pengembangan bibit sapi perah tropis juga dapat dilakukan sebagai alternatif budidaya sapi yang lebih adaptif dengan kondisi suhu dan lingkungan kita. Selain sapi, kambing perah juga bisa dikembangkan.

Dirinya juga menekankan inovasi dan hilirisasi produk susu.

“Smart Dairy Farming juga disarankan dilakukan oleh korporasi karena suhu dan kelembaban kandang bisa dikontrol dengan memanfaatkan teknologi sensor sehingga sapi tidak stres dan produktivitasnya meningkat,” tutupnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved