Kericuhan Demo Tolak Revisi UU Pilkada di Semarang, 26 Mahasiswa Luka, Satu Korban Dijahit Hidungnya

Sebanyak 18 mahasiswa dari sejumlah kampus di Semarang mengalami luka saat terjadi kericuhan saat unjukrasa tolak revisi UU Pilkada

Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
Tribun Jateng/Iwan Arifianto
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi demonstrasi menentang revisi UU Pilkada di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis (22/8/2024). Mereka menyampaikan empat tuntutan ke pemerintah yang menurut mereka sudah keblinger. 

TRIBUNJOGJA.COM, SEMARANG - Kericuhan yang terjadi antara aparat keamanan dengan peserta aksi unjukrasa menentang revisi UU Pilkada di Kota Semarang pada Kamis (22/8/2024) kemarin menyebabkan 26 mahasiswa terluka.

Dari total 26 orang yang terluka, sebanyak 18 mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit.

Rinciannya, sebanyak 15 mahasiswa dibawa ke RS Roemani, 1 mahasiswa dibawa ke RS Tlogorejo, 1 orang dibawa ke RS Hermina Pandanaran dan 1 mahasiswa ke RS Kariadi.

Komite Aksi Kamisan Semarang, Iqbal Alma menyebut salah satu mahasiswa mengalami luka cukup parah setelah terkena tembakan gas air mata.

Mahasiswa yang berasal dari Undip itu harus dijahit hidungnya karena mengalami luka robek.

Sementara sebagian besar lainnya mengalami sesak nafas hingga pingsan.

"8 sisanya luka-luka tapi tak sampai dibawa ke rumah sakit. Luka paling parah dialami mahasiswa Undip kena tembak peluru gas air mata sampai dijahit hidungnya," katanya seperti yang dikutip dari Tribun Jateng.

Iqbal pun mengkritisi tindakan represif dari aparat kepolisian yang menggunakan gas air mata.

Menurutnya, penggunakan gas air mata merupakan tindakan kekerasan meski berdalih untuk mengkondisikan situasi.

Baca juga: Sri Sultan HB X Enggan Tanggapi Pernyataan Bahlil Lahadalia soal Raja Jawa

"Padahal penggunaan gas air mata itu tindakan kekerasan," bebernya.

Unjukrasa yang dilaksanakan oleh mahasiswa di depan gedung DPRD Jateng ini digelar oleh sejumlah elemen mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah.

Di antaranya Undip, Universitas Negeri Semarang, UIN Semarang dan sejumlah kampus lainnya.

Para mahasiswa menyuarakan penolakan terhadap revisi UU Pilkada yang dilaksanakan oleh DPR.

Mereka menilai DPR mencoba mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan calon kepala daerah serta menetapkan usia minimal calon kepala daerah.

Sementara, Tim Kuasa Hukum massa aksi di Jateng, Ahmad Syamsudin Arief menyebut aksi tersebut sebagai bentuk protes penolakan Revisi UU Pilkada.

Menurutnya, aksi awalnya berjalan lancar berjalan dari gedung depan kantor DPRD Jateng sampai ke pintu samping.

Dari pintu samping gedung DPRD dekat Taman Indonesia Kaya, rencana awal mahasiswa akan masuk ke halaman DPRD untuk aksi simbolik menyegel gedung. Mahasiswa ketika masuk berjalan dengan cara jongkok.

"Kami mau masuk untuk simbolis segel gedung dan bikin sidang rakyat di halaman DPRD Jateng. Namun, kami dihadang polisi lalu ditembaki gas air mata," ungkapnya.

Arif menyebut, hingga saat ini pihaknya masih terus memantau, terkait keadaan demonstran pasca aksi unjuk rasa dibubarkan pukul 14.00 tadi.

"Kami membuka hotline aduan jika ada kawan-kawan yang mendapat tindakan represif,"imbuhnya.

Terpisah, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto menyebut tindakan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai dengan Perkap Nomor Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Tindakan Kepolisian.

"Sangat disayangkan aksi unjuk rasa berujung ricuh. Namun kami bersyukur tidak ada korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut," ujarnya. 

4 Tuntutan

Dalam demo tersebut, para mahasiswa menyuarakan empat tuntutan.

Empat tuntutan mahasiswa tersebut disampaikan oleh Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip) Farid Darmawan selepas aksi, Kamis (22/8/2024) sore.

Farid mengatakan, tuntutan pertama mendesak DPR tidak melakukan pengesahan revisi UU Pilkada.

Tuntutan kedua, mendesak KPU menindaklanjuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat sebab tidak ada hukum lain yang lebih tinggi.

Kemudian, menolak segala bentuk  nepotisme dan praktik politik dinasti dalam keberlangsungan demokrasi.

"Terakhir, kami menuntut pejabat negara untuk tidak mencederai marwah hukum dan melakukan pembangkangan terhadap konstitusi demi kepentingan golongan tertentu," paparnya.

Para mahasiswa mengaku sudah jengah dengan pemerintah sebab dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Februari lalu masyarakat sudah dikangkangi konstitusi.

Rakyat juga dipaksa menerima keputusan final dari Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dan tanggapan presiden kala itu mengatakan MK itu putusan tertinggi, sekarang ketika MK mencoba mengembalikan marwah demokrasi, marwah hukum, bahkan marwah MK malah dikatakan ini bisa dibicarakan atau didiskusikan ulang. Loh kok presiden tidak konsisten?," ungkap Farid.

Koordinator Aksi, Natael Bremana mengatakan, meskipun ada isu penundaan revisi UU Pilkada, pihaknya tak menelan mentah-mentah karena paham kerja-kerja DPR.

Sebaliknya, jika revisi UU Pilkada benar-benar  disahkan tentu akan kelompoknya akan melakukan boikot pilkada diiringi aksi yang lebih besar.

"Kerusakan demokrasi bukan hanya UU pilkada saja tapi kerusakan demokrasi sudah meluas di bawah rezim Jokowi," paparnya yang juga Ketua Presidium PMKRI Cabang Semarang ini. (*)

 

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved