Mubeng Kampus Jogja

Riset tentang Bawang Merah Mulai Diimplementasikan, Upaya Ciptakan Dampak Signifikan ke Perekonomian

Penelitian itu telah dilaksanakan sejak tahun 2021 sampai dengan tahun 2024 ini dan masih akan terus berjalan hingga tahun 2025.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Ardhike Indah
Project Leader workshop, Dr. Stephen Harper dari University of Queensland di Fakultas Pertanian UGM, Selasa (13/8/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Bawang merah adalah komoditas unggulan di Indonesia. Dunia perbumbuan dalam negeri rasanya kurang sedap jika tanpa bawang merah .

Untuk itu, University of Queensland, bersama dengan Kementerian Pertanian (Kementan) RI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menjalin kerja sama riset terkait Kesehatan Tanaman dan Manajemen Pemupukan pada Sistem Tanam Bawang Merah, Cabai, Dan Padi di Kawasan Pesisir Indonesia.

Penelitian itu telah dilaksanakan sejak tahun 2021 sampai dengan tahun 2024 ini dan masih akan terus berjalan hingga tahun 2025.

Hasil riset dan implementasi kemudian didiseminasikan dalam workshop yang digelar di Fakultas Pertanian UGM, Selasa-Kamis (13-5/8/2024).

Project Leader program tersebut, Dr. Stephen Harper dari University of Queensland menjelaskan, ada enam obyektif dalam kegiatan tersebut. Seluruhnya melihat proses penanaman bawang merah, cabe, dan padi dari berbagai aspeknya.

“Salah satu tujuan dari proyek ini adalah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dalam sistem produksi bawang merah ,” kata Stephen ditemui Tribunjogja.com di Fakultas Pertanian UGM , Selasa (13/8/2024).

Dikatakannya, penggunaan pupuk yang efisien bisa mempermudah petani untuk tidak membuang-buang biaya dalam proses penanaman bawang merah .

Stephen mengungkap, fokus penelitian tak hanya terpaku pada penggunaan pupuk, tapi juga bagaimana para petani di daerah pesisir bisa menghadapi perubahan iklim.

Sebab, kata dia, salah satu tantangan di masa depan adalah bagaimana dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian di Indonesia.

“Saat ini, sekitar 20 juta mata pencaharian masyarakat berasal dari produksi pertanian di wilayah pesisir. Dengan adanya skenario perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut, hal ini akan membuat sistem tersebut jauh lebih rentan terhadap dampak iklim sehingga memahami keterbatasan yang ada di daerah dataran tinggi menjadi lebih penting,” terang dia.

Sementara, Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Holtikultura, Badan Standarisasi Instrumen Pertanian, Kementan, Husnain Ph.D mengatakan hasil riset ini nantinya akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah.

Dari hasil riset yang ada, menurutnya, sebagai komoditas strategis pertanian bawang merah belum berdampak signifikan pada perekonomian.

Hal ini karena saat ini para petani baru bisa menghasilkan 10 ton per hektar. Padahal, potensinya bisa mencapai 25-30 ton per hektar.

“Karena dari riset yang ada, ada banyak masalah di lapangan. Benihnya sudah mengalami penurunan kualitas, kemudian penggunaan pupuknya berlebihan, begitu juga dengan penggunaan pestisida,” ujarnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved