Resensi Buku: Sistem Zonasi, Upaya Dekonstruksi Sekolah Favorit
Kebijakan zonasi semestinya berpihak pada masyarakat tidak mampu agar memperoleh keadilan dalam mengakses pendidikan.
Oleh: Hamdan Kurniawan, Anggota Dewan Pengawas Lembaga Konsumen Yogyakarta
TRIBUNJOGJA.COM - Kebijakan zonasi semestinya berpihak pada masyarakat tidak mampu agar memperoleh keadilan dalam mengakses pendidikan.
Setiap memasuki tahun ajaran baru, proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menyisakan kisah pilu.
Tak hanya soal ketidakadilan yang diderita oleh siswa, namun juga diwarnai cara culas untuk menembus sekolah yang diinginkan.
Padahal, selain mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan juga dimaksudkan sebagai cara untuk membentuk pribadi yang menjunjung tinggi nilai moralitas.
Kasus anak difabel yang tidak lolos masuk SMP Negeri meski telah menempuh jalur afirmasi dan penggunaan piagam palsu oleh ratusan calon peserta didik mendaftar SMA dan SMK di suatu kota merupakan contoh telanjang betapa PPDB di Indonesia masih terbelit beragam persoalan.
Paradoks-paradoks ini ajek terjadi meskipun sistem penerimaan siswa baru bukan barang baru di Indonesia. Meski tidak membedah secara khusus problem-problem yang menyertai penerimaan peserta didik baru, namun buku “Adaptasi Inovasi Studi Penyelenggaraan PPDB Sistem Zonasi di DI Yogyakarta” karya Budhi Masthuri ini mencoba menguraikan secara mendalam musabab diadopsinya kebijakan PPDB dengan sistem zonasi berikut dinamika yang mengikutinya.
Penulis buku mengkritisi penerapan kebijakan PPDB sistem zonasi melalui peraturan Kementerian Pendidikan dan praktiknya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang menyandang julukan sebagai kota pendidikan.

Keadilan Akses Pendidikan
Kebijakan sistem zonasi diluncurkan oleh pemerintah untuk memastikan agar calon peserta didik memperoleh pelayanan sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan dan keadilan akses masyarakat terhadap pendidikan.
Sebab, hasil evaluasi selama ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara proses penerimaan siswa baru dengan favoritisme sekolah dan praktik pungutan.
Sistem zonasi diharapkan menjadi obat mujarab agar mindset sekolah favorit berangsur hilang dan masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Sistem zonasi pertama kali dikenalkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017.
Inovasi kebijakan ini bertujuan menjamin penerimaan peserta didik baru yang lebih objektif, akuntabel, transparan dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan (hal 41).
Pertimbangan yang digunakan untuk menyeleksi siswa diletakkan pada kriteria urutan prioritas jarak tempat tinggal ke sekolah.
Jika jaraknya sama, maka kriteria berikutnya adalah usia, sertifikat hasil ujian nasional SMP dan prestasi akademik dan non akademik yang diakui sekolah.
Kriteria domisili mengambil porsi 90 persen dengan kewajiban memberikan daya tampung bagi keluarga tidak mampu paling sedikit 20 persen.
Disediakan pula jalur alasan khusus meliputi perpindahan domisili orang tua dan korban bencana alam atau sosial sebanyak 5 persen.
Sedangkan untuk mereka yang berprestasi disediakan porsi paling banyak 5 persen.
Pada regulasi ini, Kemendikbud membuka pintu seluasnya bagi pemerintah daerah untuk menetapkan radius zona terdekat.
Permendikbud ini sempat mengalami perubahan dua kali di tahun 2018. Perubahan pertama berkaitan dengan penekanan kebijakan radius yang harus berasaskan objektivitas, transparansi, akuntabilitas, berkeadilan dan non diskriminatif.
Perubahan kedua terkait dengan lama domisili yang awalnya enam bulan menjadi satu tahun. Perubahan ini berangkat dari peristiwa orang tua yang memindahkan domisili mendekati sekolah, padahal kenyataannya tidak tinggal di daerah tersebut.
Revisi kebijakan kembali terjadi di tahun 2019. Kali ini sifatnya tidak lagi minor. Atas desakan para orang tua siswa, Kemendikbud mengubah kuota jalur prestasi yang semula sebanyak-banyaknya 5 persen menjadi 15 persen dari daya tampung sekolah.
Kebijakan ini tentu saja berdampak pada pengurangan kuota jalur zonasi yang semula 90 persen menjadi paling sedikit 80 persen (hal 44).
Adaptasi Inovasi
Fokus utama buku ini terletak pada penyikapan Pemda DIY terhadap Permendikbud. Disdikpora DIY menerbitkan peraturan yang tidak sepenuhnya menjalankan petunjuk teknis dari pusat.
Pada zonasi tahun 2019, Pemda DIY menginisasi inovasi terkait dengan zonasi berdasar ukuran jarak. Pemda mengubah penerapan zonasi dari tahun sebelumnya, dari pendekatan radius berbasis jarak kelurahan-sekolah dengan memberikan pilihan tiga sekolah menjadi pendekatan populasi jumlah calon peserta didik dalam satu kelurahan dan hanya memberikan satu pilihan kepada calon peserta didik.
Perubahan ini memantik resistensi. Bagi sebagian orang tua calon siswa, khususnya mereka yang menempati kelompok menengah ke atas, sistem zonasi dianggap mengganggu kemapanan dan impian mereka tentang sekolah favorit yang berkualitas.
Cara ini dipandang tidak menghadirkan keadilan akses karena sekolah yang dipilih tidak benar-benar yang terdekat dari tempat tinggal mereka.
Protes yang dilayangkan ke beberapa pihak, baik melalui Ombudsman Perwakilan DIY maupun DPRD DIY, akhirnya melebar ke gugatan jumlah kuota jalur prestasi.
Kuota 5 persen dianggap membatasi kesempatan dan merusak semangat anak-anak berprestasi untuk mendapatkan sekolah yang dikehendaki.
Dalam kasus ini, Budhi Masthuri mensinyalir terjadinya perbedaan interpretasi antara pemerintah dan para orang tua.
Perbedaan keduanya menyangkut interpretasi terhadap makna keadilan akses dan komponen inovasi dalam penetapan zonasi.
Pemerintah memandang public value keadilan akses harus dikedepankan, yakni keadilan yang memihak pada masyarakat miskin untuk mendapatkan kesempatan setara dalam mengakses pendidikan.
Sementara, para orang tua memperjuangkan private value keadilan akses yang berbasis keadilan bagi peserta didik yang berprestasi dan memiliki nilai lebih tinggi. (hal 81-82).
Sama halnya dengan interpretasi penetapan zonasi. Pemerintah memandang basis populasi dengan satu pilihan sekolah memberikan peluang lebih besar bagi calon peserta didik untuk mendapatkan sekolah negeri sekaligus memenuhi asas pemerataan distribusi siswa ke seluruh sekolah negeri.
Sedangkan sebagian orang tua memandang kebijakan ini mempersempit peluang anak-anak mereka untuk mendapatkan sekolah yang mereka anggap favorit.
Tidak dipungkiri bahwa mindset sekolah favorit sampai hari ini masih melekat di benak sebagian masyarakat dan tidak mudah untuk menggesernya.
Sistem zonasi sejatinya hadir untuk mendekonstruksi favoritisme sekolah yang telanjur mengakar. Akan tetapi, kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menggapai pemerataan dan keadilan akses pendidikan ini, acap berbenturan dengan kepentingan pribadi segelintir orang.
Selain itu, penulis buku juga memberi catatan merah kepada pemerintah yang cenderung terburu-buru melakukan beberapa kali perubahan regulasi tanpa diiringi dengan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat.
Tak heran, resistensi adalah konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah akibat ketergesaan ini. Adaptasi inovasipun terancam bubar di tengah jalan.
Meskipun masih ditemukan beberapa kesalahan tulis, buku ini layak dipinang untuk melengkapi pemahaman mengenai asal mula penerapan PPDB sistem zonasi dan dinamika pergulatan kepentingan yang melibatkan masyarakat dan pemerintah. (*)
Data Buku
Judul: Adaptasi Inovasi Studi Penyelenggaraan PPDB Sistem Zonasi di DI. Yogyakarta
Pengarang: Budhi Masthuri
Penerbit; Pustaka Pelajar
Cetakan: Cetakan I Juni, 2024
Jumlah halaman: xii + 162 halaman
ISBN: 978-623-236-414-1
Dispussip Kulon Progo Bantu Promosikan Buku Karya Penulis Lokal Lewat Program Bedah Buku |
![]() |
---|
Kata Sebagai Ruang Temu |
![]() |
---|
Promosikan Kuliner Kulon Progo Warisan Budaya Tak Benda Gula Kethak Lewat Bedah Buku |
![]() |
---|
SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta Bedah Buku 'Laut Tengah', Ajak Siswa Apresiasi Karya Sastra |
![]() |
---|
Bedah Buku Praksis Pancasila di FEB UGM, Bagaimana Ideologi Itu Bisa Diterapkan di Perusahaan? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.