Berita Jogja Hari Ini

Hari Jadi DI Yogyakarta Dipilih 13 Maret 1755, Ini Penjelasan Ketua Pansus dan Dosen FIB UGM

Kalangan legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY menggelar publik hearing rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang hari jadi Daer

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Miftahul Huda
Ketua Pansus hari jadi DI Yogyakarta Muhammad Yazid saat diwawancara awak media, Jumat (15/12/2023) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY menggelar publik hearing rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang hari jadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (15/12/2023).

Pembahasan ranperda cukup menarik sebab muncul sejumlah argumen pada proses penentuan tanggal lahirnya DI Yogyakarta.

Literatur yang digunakan untuk menentukan hari jadi DI Yogyakarta yakni Serat Kuntharatama.

Baca juga: Pemkab Sleman Serahkan Hibah Gamelan dan Alat Musik Kepada 50 Kelompok Budaya 

Dalam serat itu disebutkan pada 29 Jumadilawal 1680 atau 14 Maret 1755 Sri Sultan Hamengku Buwono I sinewaka atau duduk bersama masyarakat dan abdi dalem.

Dari penjelasan para ahli ini memang diakui tidak ada dokumen bukti sejarah secara eksplisit menyebut hari dan tangal lahirnya DI Yogyakarta.

"Tapi ada toleransi satu tahun dari literatur yang ada, karena setelah kami kaji dari dokumen yang ada, babad yang ada, ini kejadiannya yang dimaksud adeging nagari itu ngarsa dalem sinewaka sebulan setelah terjadinya perjanjian Giyanti yakni 14 Maret 1755, setelah dikonversi itu tepatnya menjadi 13 Maret 1755," kata Ketua Pansus Hari Jadi DI Yogyakarta, Muhammad Yazid, seusai publik hearing, di DPRD DIY.

Yazid menjelaskan, sebulan setelah perjanjian Giyanti ini ada semacam pisowanan dari ngarsa dalem.

Kemudian ngarsa dalem pindah ke Ambarketawang. 

"Setelah di Ambarketawang, setahun kemudian membangun Kraton setelah itu pindah ke Kraton Yogyakarta," ujarnya.

Yazid berharap akhir 2023 ini Ranperda hari jadi DI Yogyakarta sudah dapat diputuskan hasilnya.

Sehingga pemerintah DI Yogyakarta bisa melaksanakan hari jadi sebagaimana daerah lain.

"Ya ini prihatin lan, kabupaten dan kota sudah ada (hari jadi) justru provinsi malah belum," terang dia.

Dosen Prodi Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM DR Arsanti Wulandari mengatakan dari beberapa naskah babad yang menjadi rujukan, disimpulkan banyak naskah yang mencantumkan waktu yang berbeda tentang pendirian Yogyakarta, tetapi masih berdekatan.

"Mengapa demikian? Kadang ketidaktelitian dalam pembacaan juga memang kondisi manuskrip yang membutuhkan pembacaan ekstra," ujarnya.

Selain itu teks yang berwujud tembang kadang mengalami penyesuaian sehingga isi naskah bisa saja terpotong.

"Kemudian teks tidak selalu eksplisit mencantumkan berdirinya sebuah negara, tetapi bisa disampaikan dengan proses penobatan atau peristiwa lain yaitu perjanjian, babad alas, pisowanan dan lain-lain," pungkasnya. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved