Puisi
Mengenang Sapardi Djoko Damono Melalui Puisi-puisinya
Mengenang Sapardi Djoko Damono sosok penyair legendaris Indonesia yang namanya tentu sudah tidak asing didengar melalui puisi-puisinya.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM - Sapardi Djoko Damono adalah sosok penyair legendaris Indonesia yang namanya sudah tidak asing di antara peminat karya sastra puisi.
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo pada 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Damono setelah pindah ke rumah eyangnya di Solo bagian Utara membuatnya jarang kluyuran dan sering berdiam diri di rumah.
Sapardi Djoko Damono yang terpaksa harus sering di rumah karena suasana lingkungan tempat tinggalnya sekarang berbeda dengan dahulu. Kondisi ini lah yang membuat Sapardi Djoko Damono mulai berkelana dengan diri dan pikirannya hingga lahirlah puisi-puisi indah itu.
Sapardi Djoko Damono dengan puisi-puisinya yang berhasil memikat pecinta karyanya hingga ketika kabar duka dari sosok penyair legendaris Sapardi Djoko Damono ini membuat penggemarnya sedih dan ikut berduka akan kabar meninggal Sapardi Djoko Damono.
Berikut beberapa puisi karya Sapardi Djoko Damono
1. Puisi Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Baca juga: Arti dan Makna Puisi Sapardi Djoko Damono Berjudul Hujan Bulan Juni
2. Puisi Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Baca juga: Puisi Dalam Diriku Sapardi Djoko Damono: Dalam diriku mengalir sungai panjang Darah namanya
3. Puisi Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak jejak kakinya
yang ragu ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
4. Puisi Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
(MG Anggita Pertiwi)
Makna Puisi Orang-Orang Miskin Karya W.S. Rendra |
![]() |
---|
Makna Puisi Aku Berkisar Antara Mereka Karya Chairil Anwar, Sebuah Potret Eksistensi Sosial |
![]() |
---|
Makna Puisi Wanita Pengumpul Kayu Bakar Karya Abdul Wachid BS, Kritik Kemunafikan Moral dan Hasrat |
![]() |
---|
Makna Puisi Malam di Kota Khatulistiwa karya Wiji Thukul, Potret Dualitas Kehidupan |
![]() |
---|
Makna Puisi Apakah Kartini Karya Sosiawan Leak: Mengawal Perkembangan Emansipasi Wanita |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.