Serangan Hamas ke Israel

Kisah Jurnalis di Gaza: Tiada Lagi Air Mata Tersisa, Hanya Kepingan Asa untuk Hidup Bahagia

Setiap hari di Gaza, harapan terbesar setiap warganya adalah bisa hidup dan tidak terima kabar kehilangan yang sangat besar, bukan hanya menerima

Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Joko Widiyarso
AFP/DAWOOD NEMER
Warga Palestina menyusuri puing-puing Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius yang hancur, gereja tertua yang masih digunakan di Gaza, yang rusak dalam serangan di Kota Gaza pada 20 Oktober 2023, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas. Ribuan orang, baik warga Israel maupun Palestina telah tewas sejak 7 Oktober 2023, setelah militan Hamas Palestina yang berbasis di Jalur Gaza, memasuki Israel selatan dalam serangan mendadak yang membuat Israel mengumumkan perang terhadap Hamas di Gaza pada 8 Oktober. 

TRIBUNJOGJA.COM - Setiap hari di Gaza, harapan terbesar setiap warganya adalah bisa hidup dan tidak terima kabar kehilangan yang sangat besar.

Inilah kisah Maram Humaid, jurnalis Al Jazeera yang bermukim di Gaza.

Kisah ini sudah ia publikasikan di Al Jazeera berjudul No one is left to mourn in Gaza, as Israel’s bombs deliver daily death, Selasa (24/10/2023).

Ia mengatakan, Gaza adalah tempat di mana setiap panggilan telepon membawa berita tentang seseorang yang terbunuh, setiap pesan menyampaikan kehancuran rumah teman, dan setiap serangan udara mengirimkan getaran ketakutan ke dalam hati Anda.

Baca juga: Kisah Pilu Warga Gaza yang Kena Bom di RS Al-Ahli Arab: Kami Kira akan Aman di Rumah Sakit

Di negeri ini, rumah bukan lagi tempat perlindungan untuk hidup dan bersantai.

Itu adalah keberadaan yang berbahaya, dapat mengalami kehancuran mendadak tanpa peringatan.

Harapan terbesar yang dipegang teguh seseorang hanyalah tetap hidup bersama keluarga, menghindari kehilangan orang yang dicintai yang menyayat hati, atau menghadapi kematian kolektif.

Bayangkan keluarga-keluarga yang terhapus dari catatan sipil, dilenyapkan bersama-sama.

Pada pandangan pertama, hal ini tampak seperti sebuah bencana, namun jika diamati lebih dekat, hal ini menyerupai sebuah akhir yang tragis namun penuh belas kasihan di bawah pemboman yang tiada henti.

Tidak ada seorang pun yang tersisa untuk berduka.

Kondisi Kota Gaza setelah dibombardir Israel dalam operasi pengepungan yang dilakukan sejak hari Senin (09/10/2023) kemarin
Kondisi Kota Gaza setelah dibombardir Israel dalam operasi pengepungan yang dilakukan sejak hari Senin (09/10/2023) kemarin (ist)

Bisa dibilang, sebagian orang iri pada mereka yang menemukan akhir yang damai, melarikan diri dari kegilaan penembakan dan pembunuhan yang terus berlanjut.

Melihat berita dan menyaksikan kekacauan seputar truk bantuan yang memasuki Gaza, kita pasti akan mendapati bahwa prioritas dunia ini membingungkan.

Alih-alih berfokus pada upaya menghentikan perang, penekanannya tampaknya adalah pada pemberian bantuan.

“Apa yang lebih dibutuhkan rakyat Gaza daripada makanan, air atau bantuan lainnya adalah diakhirinya kekerasan, pertumpahan darah, dan kehancuran yang tidak masuk akal,” tulisnya.

Sekarang sudah hari ke-18 (sejak Israel membalas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023), dan selama tiga hari, aku tidak bisa membagikan catatan ini di buku harianku karena kurangnya akses internet.

Namun, meski berjalannya waktu, tidak ada perubahan signifikan.

Baca juga: KISAH Kesaksian Abdillah Onim, WNI yang Tinggal di Jalur Gaza Palestina Ceritakan Suasana Perang

Gaza masih terjebak dalam siklus kematian dan kehancuran yang berulang-ulang yang sudah biasa disaksikan oleh dunia.

Kematian setelah kematian

Beberapa waktu lalu, muncul berita yang menyayat hati tentang meninggalnya jurnalis Roshdi Sarraj, seorang sahabat karib.

Kejutan atas kehilangannya sulit diterima.

Pikiran terus tertuju pada istrinya, Shorouq, teman lainnya, dan putri mereka yang berusia satu tahun, Dania.

Sehari sebelumnya, saya dan saudara perempuan terbangun oleh berita yang lebih menyedihkan.

Sembilan keluarga teman saya telah terbunuh. Keluarga ini termasuk ibu, Nibal, dan putrinya, Saja, Doha, Sana, Mariyam, dan Lana, bersama putranya, Mohammed.

Mereka tewas setelah perintah Israel untuk meninggalkan Gaza mengirim mereka ke rumah kerabat mereka di Deir el-Balah.

Hanya Noor, seorang putri yang sudah menikah di Qatar, yang selamat dari tragedi ini.

Suara tangis Noor di telepon dari Doha, yang memohon agar kami mengambil foto keluarganya yang sudah dikubur dalam diam, mengingatkan kita pada kata-kata penyair Palestina Mahmoud Darwish: “Kematian tidak menyakiti orang mati, hanya menyakiti orang hidup.”

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved