Pilpres 2024

Tanggapi Putusan MK, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar : Ada Cawe-cawe Politik

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, buka suara memberikan tanggapan soal putusan MK

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Muhammad Fatoni
Instagram Zaenal Arifin Mochtar
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar 

TRIBUNJOGJA.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2024, menuai pro dan kontra.

Sejumlah pengamat dan kalangan publik pun menyoroti putusan MK ini.

Satu di antaranya muncul dari pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar.

Zainal menyebut putusan MK tersebut lahir dari cawe-cawe politik.

Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari keanehan-keanehan yang terjadi selama proses putusan, salah satunya dari perbedaan pendapat para hakim MK.

“Kelihatan betul putusan ini lahir dari pertarungan politik dan lahir dari cawe-cawe politik, sehingga putusan ini keluar,” kata Uceng, sapaan akrabnya.

Menurutnya, dissenting opinion yang disampaikan oleh para hakim lebih banyak berisi kemarahan.

Apalagi sejak awal para hakim begitu konsisten bahwa materi gugatan tersebut adalah open legal policy.

Namun kemudian terjadi gelombang kedua yang memunculkan keanehan berikutnya.

Yakni ketika putusan pertama itu sudah mengambil penolakan, mendadak ada permohonan baru yang mengubah konstelasi.

Sehingga hakim yang dulu konsisten di gelombang permohonan pertama tiba-tiba berubah di gelombang permohonan kedua.

“Nah yang lebih luar biasa lagi katanya di putusan yang lain, Ketua MK itu konsisten tidak ikut dalam memutus perkara,” ujarnya.

Namun, pada putusan yang mengabulkan gugatan, Anwar Usman ikut memutuskan perkara.

Dan diakui hakim, kehadiran Anwar Usman sangat berpengaruh terhadap putusan.

Dikatakan Uceng, dari pernyataan Hakim Saldi Isra, tidak ikut sertanya Ketua MK Anwar Usman itu dilandasi keinginan agar tak terlibat konflik kepentingan.

Kendati begitu, Anwar Usman justru terlibat dalam permohonan atau gelombang kedua.

“Ini menarik karena putusan atau permohonan terakhir itulah yang me-mention secara langsung nama Gibran, yang lainnya kan tidak ada yang mention nama Gibran, ini langsung,” katanya.

Uceng mengatakan hal ini menjadi aneh karena pada permohonan pertama, Ketua MK konsisten dengan kebijakan hukum terbuka terkait gugatan syarat usua capres-cawapres.

Bahkan hal itu dijelaskan oleh Hakim MK Arief Hidayat. Di mana permohonan baru yang masuk pada 13 September itu telah mengubah pendapat hakim dari kebijakan hukum terbuka.

“Saya kira jauh lebih aneh adalah keanehan-keanehan di belakang yang lainnya itu yang saya ceritakan. Kok bisa tiba-tiba konflik kepentingan dilanggengkan, kok bisa tiba-tiba konsistensi open legal policy tiba-tiba berubah, kok bisa tiba-tiba yang awalnya konsisten menolak pengalaman itu tiba-tiba berubah di sini,” tegasnya.

Uceng menegaskan, dari 4 perbedaan pendapat para hakim sebenarnya juga lebih banyak menunjukkan kemarahan. Bahkan memperlihatkan bahwa putusan ini telah merusak wajah Mahkamah Konstitusi.

Misalnya pendapat dari Hakim MK Saldi Isra yang mengatakan dengan jelas bahwa putusan ini mempertaruhkan marwah MK. Menurut Uceng, Saldi Isra melihat putusan ini memperlihatkan betapa MK sebenarnya bermain-main.

Kemudian pendapat Hakim Wahiduddin Adams, kata Uceng, diceritakan bahwa dari sini kelihatan sebenarnya permohonan ini berkaitan dengan independensi kekuasaan kehakiman di hadapan politik.

“Saya kira itu keanehan yang sederhana yang sebenarnya itu hanya hulu. Di hilirnya itu jauh lebih luarbiasa,” tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved