Tangis Bahagia Warnai Akhir Perjalanan Spiritual Biksu Thudong di Candi Borobudur Magelang

Selama perjalan ribuan kilometer tersebut, para Biksu selalu dihujani kebaikan dari banyak umat Buddha, bahkan juga dari masyarakat lintas agama

|
Tribun Jogja/Nanda Sagita Ginting
Para Biksu Thudong berjalan menuju Candi Borobudur, pada Kamis (1/6/2023) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Rombongan Biksu Thudong akhirnya menuntaskan perjalanan spiritualnya di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang , Jawa Tengah, pada Kamis (1/6/2023).

Para Biksu datang berjalan kaki memasuki area Candi Borobudur lewat Gerbang Kalpataru.

Momen kedatangan para Biksu ini langsung disambut hangat.

Para umat pun tampak memberikan bunga sedap malam, bunga yang dianggap sebagai salah satu simbol kebaikan bagi agama Buddha.

Setelah itu, para Biksu langsung menuju ke Candi Borobudur.

Sebanyak 33 Biksu itupun langsung naik ke badan Candi Borobudur untuk memanjatkan hajat dan doa-doa mereka. 

Bhante Kanthadammo atau Bhante Wawan mengatakan saat naik ke Candi Borobudur para biksu langsung menangis bahagia.

Tekadnya selama ini menuju salah satu pusat agama Buddha terbesar di dunia itupun akhirnya terwujud. 

"Sebagai Bikhu Dutanga yang punya tekad sampai akhir finis. Mereka semua menangis, tetapi bukan menangis sedih, tetapi senang dan bahagia. Sebenarnya, kami (para biksu yang melakukan Thudong)  berjumlah itu 40 orang, namun banyak yang gugur karena segala macam hal, akhirnya kami tinggal 35 orang, 33 bikhu dan 2 umat," tuturnya seusai turun dari Candi Borobudur.

Ia mengatakan, tangisan para Biksu Thudong ketika sampai ke Candi Borobudur sebagai bentuk kelegaan atas  tercapai misi perdamaian dan toleransi.

Di mana, selama perjalan ribuan kilometer tersebut, para Biksu selalu dihujani kebaikan dari banyak umat Buddha, bahkan juga dari masyarakat lintas agama.

"Padahal sebenarnya kami  bisa saja berangkat dari Thailand dengan pesawat, lebih santai. Tetapi dengan ritual Thudong ini, rasanya beda sekali, apalagi kami bawa misi toleransi dan perdamaian. Tapi mudahan-mudahan setelah melihat keadaan di Indonesia, karena ini kan rencananya bukan yang terakhir, tahun depan kami berencana akan  melakukan perjalanan lagi, jaraknya lebih jauh dan pesertanya juga lebih banyak,"tuturnya.

Sementara untuk ritual yang dilakukan para Biksu Thudong saat berada di atas Candi Borobudur terdiri dari beberapa prosesi, di antaranya membaca Dhammasaka dan Pradaksina.

"Kami melakukan pembacaan Dhammasaka artinya kita memulai lagi perdamaian dari ajaran Sang Buddha yang sangat universal. Dan, terakhir kami melakukan meditasi dan Pradaksina semuanya benar-benar terharu, semuanya benar-benar khusyuk," tuturnya.

Dia menambahkan, setelah ini para Biksu Thudong berencana akan berkeliling candi, baik candi Buddha maupun Hindu yang ada di sekitar Candi Borobudur.

Kemudian, para Biksu Thudong juga akan mengikuti rangkaian Waisak hingga akhir.

"Besok itu (2/6/2023) mau ke Prambanan, Candi Sewu, Plaosan mau memperkenalkan kepada Bante-Bante dari luar negeri, inilah bahwa di Indonesia banyak sekali peninggalan Hindu Buddha. Terus kita rencana mau ke Jumprit (3/6/2023), untuk ambil air biar mereka juga tahu bahwa inilah prosesi Waisak di Indonesia,"ujarnya.

Terpisah, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama, Nyoman Suriadarma, mengatakan ritual yang dilakukan para Biksu Thudong di Candi Borobudur sangat sakral.

"Sangat sakral, karena memang seorang Bante sudah memiliki semacam niat suci ya menginjakkan kaki di Candi Borobudur, dan tadi juga membacakan Parita-parita, karena tujuan mereka itu memang di sini, itu namanya memiliki Aditanah, itulah yang dinamakan tekad yang kuat tadi,"paparnya.

Ia juga menilai, penyambutan para Biksu Thudong di Candi Borobudur sangat baik.

Termasuk, diberikannya bunga sedap malam kepada para Biksu sebagai salah satu simbol keagamaan bagi umat Buddha.

"Jadi dari agama Buddha itu artinya bunga sedap malam itu, Amisa Puja dalam bentuk materi tetapi seperti bunga. Bunga itu kan melambangkan suatu bentuk keharuman dan melambangkan ketidakkekalan, sehingga bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini lahir, bertumbuh, tua, dan mati, filosofi itu ada pada bunga,"terangnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved