Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sejarah Alun-alun Utara, Pernah Jadi Tempat Pengaduan Warga kepada Sang Raja
Lokasi Alun-alun Utara juga berdekatan dengan lokasi incaran wisatawan seperti Masjid Gedhe, sentra Gudeg Wijilan, sentra wisata Malioboro
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Membicarakan Yogyakarta tak lepas dari ingatan tentang kunjungan ke Alun-alun Utara.
Terletak persis di depan Keraton Yogyakarta, Alun-alun Utara ini berada di satu garis lurus dengan Tugu Yogyakarta dan Gunung Merapi.
Satu garis lurus itu kemudian dikenal dengan nama Sumbu Filosofi Yogyakarta yang kini menjadi warisan turun temurun.
Alun-alun adalah manifestasi ruang publik, menjadi bagian tak terpisahkan dari tata ruang ibu kota kerajaan.
Konsep ini kemudian diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia, di mana sebuah ruang terbuka disediakan tepat di depan pusat pemerintahan.
Pangeran Mangkubumi, pendiri Kasultanan Yogyakarta yang mahir dalam ilmu filsafat maupun arsitektur kemudian mewarnai struktur tata ruang Kasultanan Yogyakarta dengan simbol-simbol penuh makna.
Sejarah Alun-Alun Utara

Alun-alun Utara atau Alun-alun Lor menjadi landmark berupa tanah lapang yang tak bisa dipisahkan dengan Keraton Yogyakarta.
Sesuai namanya, Alun-alun Utara ini terletak di sebelah utara atau di sisi depan Keraton Yogyakarta.
Lokasi Alun-alun Utara juga berdekatan dengan lokasi incaran wisatawan seperti Masjid Gedhe, sentra Gudeg Wijilan, sentra wisata Malioboro, serta Benteng Vredeburg.
Dikutip Tribunjogja.com dari laman kratonjogja.id, Alun-alun Utara ini memiliki luas 300 X 300 meter persegi yang di tengahnya terdapat dua buah beringin kurung yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru (yang sekarang bernama Kiai Wijayadaru).
Menurut Serat Salokapatra, benih Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kiai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.
Baca juga: Sejarah Alun-Alun Selatan Yogyakarta, Miliki 5 Jalan Keluar Lambang 5 Indra Manusia
Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa yang berarti Tuhan dan ndaru yang berarti wahyu.
Pohon ini berada di sebelah barat dari garis sumbu filosofis.
Bersama-sama dengan Masjid Gedhe yang juga berada di sebelah barat garis sumbu filosofis, pohon ini memberi gambaran hubungan manusia dengan Tuhannya.
Penempatan ini adalah wujud bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I secara cerdas menggambarkan konsep Islam habluminallah.
Sementara Kiai Janadaru yang bermakna lugas pohon manusia, bersama dengan Pasar Beringharjo, berada di sisi timur dari sumbu filosofis. Hal ini melambangkan hubungan manusia dengan manusia, sebuah konsep Islam hablumminannas.
Kemudian, pada sisi utara dan sisi selatan, berdiri juga sepasang pohon beringin.
Nah, beringin di utara bernama Kiai Wok dan Kiai Jenggot, sedang yang di selatan bernama Agung dan Binatur.
Alun-alun Utara juga ditutupi pasir lembut seperti pasir pantai. Konon ini menggembarkan laut tak berpantai yang merupakan perwujudan dari kemahatakhinggaan Tuhan.
Maka secara keseluruhan, makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, bersatunya raja rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan.
Bila Tribunners mengamati sekeliling Alun-alun Utara, pasti kita akan melihat banyak pohon bringin.
Memang di sekeliling Alun-alun Utara terdapat 62 pohon beringin. Jadi bisa dibilang total pohon beringin ada 64 di Alun-alun Utara ini.
Makna pohon beringin ini menggambarkan usia Nabi Muhammad SAW ketika beliau meninggal dalam perhitungan Jawa.
Fungsi Alun-alun Utara pada Zaman Dulu

Selama ini, masyarakat mengenal Alun-alun Utara Jogja ini sebagai ruang publik yang terbuka untuk umum. Namun, Alun-alun Utara pada zaman dahulu memiliki fungsi yang berbeda.
Alun-alun Utara menjadi tempat masyarakat yang ingin mengadukan persoalan kepada Sultan.
Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil akan berpakaian putih, duduk di bawah panas matahari (pepe) di tengah alun-alun hingga Sultan melihat dan memanggilnya.
Praktek mengadukan nasib di bawah sengatan matahari ini disebut laku pepe atau tapa pepe.
Dikutip dari pariwisata.jogjakota.go.id, beberapa sumber menyebut karena permukaan alun-alun ini berupa pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan.
Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritanya.
Tak heran jika pada zaman dahulu, Alun-alun Utara ini merupakan wilayah sakral yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.
Baca juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Wujud Pemikiran Besar Sri Sultan HB I untuk Warganya
Bahkan, ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, seperti tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung.
Hal ini dilakukan sebagai wujud menghormati Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Oleh karena itu, alun-alun yang membentang di muka Keraton Yogyakarta maupun yang berada di pungkuran, bukanlah semata ruang terbuka untuk menampung segala akitivitas khas warga kota seperti yang terlihat saat ini.
Kehadiran Alun-Alun ini memenuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan.
Ruang terbuka luas ini menjadi perangkai berbagai elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial.
Misalnya antara keraton dan Masjid Gedhe, atau antara Sultan dan rakyatnya.
Alun-alun Utara dengan Wajah Baru

Fungsi Alun-alun Utara makin bergeser seiring perkembangan zaman.
Sekarang ini, Alun-alun Utara merupakan sebuah ruang publik yang bisa dimanfaatkan oleh setiap orang.
Bahkan, saat ini terdapat banyak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman di sekitar alun-alun mulai pagi hingga malam.
Kini, Alun-alun Utara diberi pagar keliling.
Mengutip Tribunjogja.com pada 8 Juni 2020, Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho mengatakan pembangunan tersebut bersumber dari dana keistimewaan atau Danais sebesar Rp 2,3miliar.
"Sudah dimulai Minggu lalu, targetnya akhir Juli sudah rampung," jelas Aris.
Aris membeberkan, keberadaan pagar di Alun-Alun Utara tersebut dijelaskan dalam Serat Tuntunan Padalangan yang ditulis oleh MNg Nojowirongko al Amotjendono pada tahun 1948.
"Di janturan pewayangan memang Alun-Alun itu diberi pagar pacak suji. Kalimatnya begini 'ing pagelaran andher para bupati kliwon wedana penewu mantri, beg amber ambalabar dumugi sakjawining taratag kaya ndoyong-ndoyongna pacak sujining alun-alun kadheseg wadya ingkang samya nangkil'," ungkapnya.
Pagar tersebut, lanjutnya, dibuat seperti yang ada di pagelaran Keraton Yogyakarta.
Terbuat dari bahan besi, dengan motif pacak suji, dengan warna hijau pare anom senada dengan warna yang ada di pagelaran.
Baca juga: Sejarah dan Arti Nama Jalan Malioboro, Destinasi Wisata Favorit Wisatawan dan Warga Jogja
Selanjutnya, meski telah dibangun pagar nantinya akan tetap ada akses keluar masuk sebanyak 3 buah pintu.
"Kan tetap ada pintu kalau ada kegiatan yang telah koordinasi dengan pihak Keraton (bisa masuk). Kita dalam rangka mengembalikan itu termasuk penanda keistimewaan Yogyakarta," ucapnya.
Ia menegaskan bahwa sementara ini, pembangunan pagar hanya dilaksanakan di Alun-Alun Utara.
"Sementara itu. kalau lain-lain belum ada wacana ke sana," ungkapnya.
Terpisah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan tujuan dibangunnya pagar mengitari Alun-Alun adalah untuk mengembalikan kembali bentuk bangunan yang dulu.
"Dulu-dulu, awal Alun-Alun itu dipageri. Tidak hanya Alun-Alun. Tembok mau masuk Rotowijayan, Yudhonegaran, mau ke utara ke Kantor Pos itu dulu ada pintu gerbang semua. Hanya karena berganti jumeneng (bertahta) dan zamannya (menjadi) seperti sekarang," bebernya.
Sultan pun memastikan, meski dilengkapi pagar, Alun-Alun tetap bisa diakses masyarakat.
"Tetep ada pintu. Kalau ada acara untuk gerebeg dan sebagainya (biar) tetap bisa," pungkasnya.
Nah, itulah sejarah dan fungsi Alun-alun Utara, Tribunners.
Untuk menjaga budaya, Alun-alun Utara ini harus tetap dilestarikan dan dirawat hingga sedemikian rupa.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Alun-alun Utara
Sejarah Alun-alun Utara
Filosofi Alun-alun Utara
Fungsi Alun-alun Utara
Keraton Yogyakarta
Kasultanan Yogyakarta
Keraton Kasultanan Yogyakarta
Sumbu Filosofi Yogyakarta
Tribunjogja.com
Promosikan World Heritage, 73 Delegasi dari Malaysia Diajak Tour Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Sumbu Filosofi Jadi Warisan Dunia, Trans Jogja Belum Berencana Tambah Rute |
![]() |
---|
Sri Sultan Hamengku Buwono X Ingin Sumbu Filosofi Berdampak Positif ke Seluruh Lapisan Masyarakat |
![]() |
---|
Layani Tur Gratis di Kawasan Sumbu Filosofi, Disbud DIY Sediakan 2 Unit Bus Jogja Heritage Track |
![]() |
---|
Pemda DIY Bakal Bentuk Sekretariat Bersama untuk Kelola Kawasan Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.