Psikolog : Pose Pamer Harta atau Flexing di Media Sosial, Indikasi Perasaan Tidak Percaya Diri
Tindakan ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perilaku pejabat ataupun anak pejabat yang kerap memamerkan berbagai barang mewah di media sosial menarik perhatian masyarakat luas.
Pengamat Psikologi sosial UGM , Lu’luatul Chizanah, S.Psi., M.A., mengatakan perilaku yang gemar membagi konten tentang barang-barang mewah yang dimiliki merupakan tindakan flexing .
Tindakan ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.
“Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang,” jelasnya, Rabu (1/3/2023).
Baca juga: Fenomena Flexing Berbalut Tradisi Dalam Perspektif Bisnis dan Komunikasi
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok.
Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.
“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,” paparnya.
Orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial, disampaikan Lu’luatul, mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah.
Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya.
Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.
“Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya,” terangnya.
Lu’luatul menyampaikan perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material.
Sebab, apa yang diunggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material.
“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,” ucapnya.
Besok Bumi Berputar Lebih Cepat, 5 Agustus 2025 Jadi Hari Tersingkat! Bahaya Nggak, Sih? |
![]() |
---|
Viral Mural One Piece Karya Karang Taruna di Sragen Dihapus, Padahal Bukan Bendera |
![]() |
---|
6 Shio Jadi Kunci Hoki di Awal Pekan Hari Ini Senin 4 Agustus 2025, Ada Shio Ular Nangkring di Atas |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca DI Yogyakarta Hari Ini 4 Agustus 2025, BMKG: Hujan Ringan Masih Mendominasi |
![]() |
---|
7 Arti Mimpi Jatuh dari Perahu Menurut Primbon Jawa, Pertanda Baik atau Buruk? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.