Berita Jogja Hari Ini
DIY Provinsi Termiskin di Jawa, Ini Tanggapan Sri Sultan Hamengku Buwono X
Sultan HB X menjelaskan, jika mengacu data BPS, persentase penduduk miskin di DIY mencapai sekitar 11 persen.
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengomentari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan DI Yogyakarta sebagai provinsi termiskin di Jawa.
Sultan HB X menjelaskan, jika mengacu data BPS, persentase penduduk miskin di DIY mencapai sekitar 11 persen.
Sementara itu, Jawa Tengah jumlahnya lebih rendah di angka 10,9 persen.
Kemiskinan di Yogya secara persentase memang lebih tinggi dari Jateng.
Namun dari sisi jumlah, angka kemiskinan di Jateng jauh lebih tinggi.

"Ya, Yogya 11 persen kalau penduduk 3,7 juta (jiwa) ya kira-kira 400 ribu. Tapi kalau Jawa Tengah 9 persen (saja) memang lebih rendah (secara persentase) ning (tapi) kalinya, kan, 36 juta (jiwa). Berarti kalau penduduknya 30 juta saja kali 9 persen, kan, 2,7 juta (jiwa yang hidup miskin)," kata Sri Sultan kepada wartawan di Kompleks Kepatihan, Rabu (25/1/2023).
Lebih lanjut, Raja Keraton Yogyakarta ini menganggap tingkat kemiskinan di DIY tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik saja karena masyarakat di wilayah ini memiliki ciri khas tersendiri.
Misalnya, banyak warga yang memiliki aset seperti hewan ternak dan hasil pertanian, tapi aset-aset tersebut tidak menjadi indikator penghitungan kemiskinan.
Pemda DIY pun sudah berupaya menangani kemiskinan dengan memberikan bantuan uang tunai.
Namun ketika mendapatkan bantuan pun belanja untuk konsumsi masyarakat tidak mengalami peningkatan sehingga tingkat konsumsi warga tetap berada di bawah garis kemiskinan.
"Misalnya gini Rp 480 ribu (biaya konsumsi warga miskin per bulan), saya kasih Rp 100 ribu dengan harapan, kan, mengeluarkan 1 bulan Rp 480 ribu dengan saya kasih Rp 100 ribu itu dikonsumsi berarti pengeluarannya jadi Rp 580 ribu," ucap Sultan.
"Kalau Rp 100 ribu tidak dikonsumsi, untuk barang lain atau disimpan, tidak dikonsumsi, ya, pengeluarannya tetap kurang dari tambahan Rp 100 ribu (masih Rp 480 ribu dan masuk kategori miskin)," sambung Sultan.
Selain itu, biaya konsumsi masyarakat Yogya juga lebih kecil dibanding daerah lain karena harga makanan yang relatif murah.
Hal itu dianggap menjadi masalah secara statistik karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan.
"Berarti ada sesuatu yang sifatnya anomali, kan gitu. Mungkin pola kebijakan itu berlaku seluruh Indonesia. Tapi di Yogya terjadi anomali seperti itu. Tapi, kan, BPS tidak bisa ngubah hanya untuk DIY (menghitung aset)," ujar Sultan.
Upah murah
Sementara itu, peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menyoroti upah minimum provinsi (UMP) DIY yang sangat rendah.
Menurut dia, upah murah DIY menjadi salah satu penyebab DIY masuk dalam provinsi termiskin di Jawa.
"Selain faktor COVID-19, kemiskinan di Jogja ini terbentuk karena UMP DIY yang rendah sekali," katanya, Rabu (25/01/2023).
“Ini juga yang sama-sama kita gaungkan, untuk peningkatan pendapatan di Jogja. Ketika garis kemiskinan meningkat, pendapatannya tetap, bahkan cuma meningkat beberpa persen.
“Orang yang di bawah akan semakin di bawah. Nggak bisa mengejar, masuk di luar garis kemiskinan.
Ia mengkritik pun mengritik DIY yang menormalisasi upah murah.
Sebab pendapatan yang rendah akan menciptakan kemiskinan, dan jika dinormalisasi akan menjadi kemiskinan abadi.
Itulah sebabnya ia mendorong DIY untuk mengubah formulasi UMP, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
"Dengan gaji yang meningkat relatif tinggi, akan meningkatkan daya beli. Dengan daya beli meningkat, itu sudah pasti dia berada di atas garis kemiskinan. Miris sekali kalau membandingkan dengan indeks kebahagiaan, tapi nggak dilihat dari sisi pendapatan,"ujarnya.
Selain upah murah, ia menyoroti pertanian DIY. Menurut dia, petani di DIY tidak memiliki lahan yang luas. Kebanyakan lahan petak yang digarap petani kurang dari 0,5 hektare (petani gurem).
"Ketika banyak sekali masyarakat yang tergantung pada sektor pertanian, terus kemudian petaninya juga petani gurem, yang terjadi adalah kemiskinan struktural," lanjutnya.
Subsidi yang diberikan untuk petani pun tak jarang tepat sasaran. Padahal pupuk dan benih yang disubsidi pemerintah merupakan faktor produksi petani.
Dengan begitu, Pemda DIY perlu mengintegrasikan subsidi pemerintah kepada petani, agar bisa mendongkrak produksi.
"Ketika lahan yang digarap cuma 0,5 hektare, terus sekali jual harganya misal Rp 8 juta, terus biaya produksi Rp 6 juta, selama musim tanam misal Rp 3 juta, artinya kan petani cuma dapat Rp 2 juta. Mau makan apa itu Rp 2 juta. Ketika pendapatan petani turun, maka kemiskinan ekstrem akan naik," imbuhnya. (Tribunjogja/maw/tro)
Sri Sultan Hamengku Buwono X
provinsi termiskin di Jawa
Berita Jogja Hari Ini
Badan Pusat Statistik (BPS)
Angka kemiskinan di DIY
KENAPA Cuaca di Yogyakarta Terasa Dingin Akhir-akhir Ini? Ini 5 Fakta Menariknya |
![]() |
---|
Kronologi 3 Wisatawan Asal Sragen dan Karanganyar Terseret Ombak di Pantai Parangtritis |
![]() |
---|
Banyak Moge Harley Davidson Lewat Jogja, Ada Event Apa? |
![]() |
---|
Produsen Anggur Merah Kaliurang Buka Suara, Produksi Dihentikan, Produk Ditarik dari Pasaran |
![]() |
---|
INFO Festival Durian Jogja di Sleman Ada All You Can Eat dan Lomba Makan Durian 26-29 Januari 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.