Kisah Pak Pong Seniman dan Pembuat Barongsai Yogyakarta: Dulu Sembunyi-sembunyi, Kini Laris Manis 

Di usianya yang sudah tak muda lagi, pria yang akrab disapa Pak Pong ini mampu mencetak 24 kepala barongsai dalam sehari.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA/MIFTAHUL HUDA
Pak Pong menunjukkan barongsai hasil buatannya, Selasa (17/1/2023) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perajin barongsai di Kota Yogyakarta kini banjir orderan saat menjelang perayaan Tahun Baru Imlek 2023.

Slamet Hadi Prayitno adalah salah satu perajin barongsai asal Yogyakarta yang merasakan berkah itu.

Pria berusia 75 tahun itu terbilang masih produktif dalam membuat barongsai aneka warna.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, pria yang akrab disapa Pak Pong ini mampu mencetak 24 kepala barongsai dalam sehari.

Hasil cetakan itu masih mentah, masih berupa kepala barongsai yang pelontos, belum dicat dan perlu dijemur terlebih dahulu.

"Saya mendalami barongsai dari tahun 1995. Awal mula kami cuma seneng. Saya tahun 2000 sudah memasarkan dan sudah jadi pemain barongsai sampai sekarang," katanya saat dijumpai di rumahnya, Selasa (17/1/2023).

Mencari rumah Pak Pong tidaklah sulit, meski lokasinya nyelempit ke dalam gang.

Rumah itu berada di Kampung Pajeksan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta.

Warga sekitar Kampung Pajeksan sebagian besar mengenal dirinya.

Tidak akan sulit lantaran di depan rumahnya ada papan penanda bertuliskan 'Kandang Singa Mataram'.

Itu adalah nama sanggar yang dibina oleh Pak Pong sejak 1995 sampai sekarang.

Selain papan penanda, beberapa barongsai setengah jadi juga dibiarkan berada di luar rumahnya.

Produk barongsai hasil dari tangan terampil Pak Pong sudah tersebar di berbagai penjuru daerah.

"Orderan luar kota banyak, ada dari Papua ada, Medan, Ponorogo ada pesen tiga, ukuran dewasa. Cuma repotnya kalau maketkan itu, kan ini barang ringkih tapi kalau keluar kota harus dibungkus khusus," jelasnya.

Ia bercerita sempat kesulitan pada saat pandemi Covid-19 mengganas dua tahun silam.

Produksi barongsai miliknya menurun drastis dan sanggarnya sepi karena tak ada pentas di luar.

Kini sejak Agustus tahun lalu perlahan usahanya mulai bangkit kembali.

Sebanyak 60 seniman tergabung di sanggar Singa Mataram mulai mengisi pentas berbagai acara.

Mendekati perayaan Tahun Baru Imlek tahun ini, produksinya juga semakin meningkat.

"Pentas juga sudah ramai. Ada sepuluh tempat. Itu pun sudah menolak, karena jamnya kan pas makan malam pentasnya," ungkapnya.

Awal Mula Merintis

Berawal dari kebiasaannya menyaksikan budaya Tionghoa di Kampung Pecinan Ketandan Yogyakarta, Pak Pong rupanya jatuh cinta dan memilih untuk menekuni kesenian barongsai tersebut.

Pria asal Gunungkidul itu kemudian berguru kepada Abdul Wahab untuk memproduksi sekaligus memainkan barongsai.

"Awalnya hanya melihat terus tertarik, waktu itu sebagian anak-anak sini seneng kalau pas main itu. Sanggar dan rumah produksi," jelasnya.

Semenjak itu Pak Pong justru turut melestarikan budaya Tionghoa lantaran barongsai menjadi sumber penghidupannya untuk keluarga.

Kini anak hingga cucu Pak Pong meneruskan usaha pembuatan barongsai dan turut menghidupi sanggar Singa Mataram yang ia dirikan.

"Anak sama cucu sudah produksi sendiri. Sudah memasarkan sendiri," ungkpnya.

Ketika baru pertama kali memproduksi, ia harus sembunyi-sembunyi sebab isu rasisme masih kuat pada era 1995.

Diceritakan Pak Pong, penggunaan atribut Tionghoa pada saat pawai sempat dilarang pada masa itu.

Ketika masa orde baru, Pak Pong mulai memproduksi barongsai dengan jumlah banyak.

"Pas dulu enggak berani, pawai saja harus lari. Pas zaman Gus Dur baru berani bebas. Laris manis. Jadi sempat sembunyi-sembunyi, zaman orde baru belum berani buat," kenangnya.

Produk barongsai yang ia buat dimulai dari ukuran mini untuk anaka-anak hingga ukuran dewasa.

Untuk barongsai berukuran mini bahannya murni dari kertas yang dicampur lem tepung kanji.

Kemudian untuk barongsai ukuran dewasa, bahannya masih sama namun ditambahkan rotan sebagai rangka agar kokoh.

Harga satu barongsai ukuran mini antara Rp70 ribu hingga Rp100 ribu.

"Kalau yang besar yang dewasa antara Rp5 juta hingga Rp6 juta," jelasnya.

Bahan bakunya hanya limbah kertas dan bulu domba.

Diakui Pak Pong untuk limbah kertas tersedia banyak.

Kalau untuk bulu dombanya yang menurutnya masih sulit.

"Di Jogja ndak ada (bulu dombanya). Harus datangkan dari Bandung sama Surabaya," ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved