Jual Beli Seragam Sekolah
ORI Perwakilan DIY Temukan Modus Jual Beli Seragam Sekolah di Yogyakarta, Keuntungannya Fantastis
Pertama, lembaga ORI DIY menemukan bahwa pihak sekolah bersekongkol dengan salah satu toko seragam yang ditunjuk untuk menawarkan paket seragam kepada
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perwakilan Lembaga Ombudsman RI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menemukan sejumlah fakta mengenai praktik jual beli seragam di lingkungan sekolah.
Jual beli seragam di lingkungan sekolah tidak dibolehkan sebab telah diatur dalam pasal 181 dan Pasal 198 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, yang intinya pendidik dan tenaga kependidikan, dewan pendidikan, maupun komite dilarang untuk menjual seragam ataupun bahan seragam.
Pelarangan jual beli seragam dilingkungan sekolah juga diamanatkan pada Pasal 4 Ayat (1) dan (2) Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Seolah tutup mata, sejumlah instansi sekolah di DIY masih saja menjual seragam dengan berbagai siasat.
Fungsi penegakan aturan yang semestinya berjalan namun terkesan lamban.
Hingga akhirnya, lembaga ORI perwakilan DIY menemukan sejumlah catatan dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2022.
Baca juga: Bupati Halim Bersyukur 912.073 Warga Bantul Telah Terdaftar Sebagai Peserta JKN
Salah satu hal yang mengejutkan yakni tentang keuntungan jual beli seragam yang dilakukan oleh pihak sekolah.
Pertama, lembaga ORI DIY menemukan bahwa pihak sekolah bersekongkol dengan salah satu toko seragam yang ditunjuk untuk menawarkan paket seragam kepada wali murid.
Kedua, tedapat selisih harga antara seragam yang dijual di lingkungan sekolah dengan harga yang dijual dipasaran.
Per satu paket seragam yang terdiri dari lima item itu dijual oleh pihak sekolah berkisar antara Rp1.175.000.
"Modusnya sekarang berubah. Bukan lagi sekolah yang menyampaikan ke wali murid. Tapi sekolah mengundang pihak toko seragam untuk presentasi barang. Termasuk item-item seragam apa saja yang dijual beserta harganya. Dari kwitansi yang kami dapat ada menitip Rp 1.175.000," kata Kepala Keasistenan Pencegahan Lembaga ORI Perwakilan DIY Chasidin, di ruang rapat kantor ORI DIY, Senin (26/9/2022).
Dia menjelaskan, dengan harga paket seragam yang dimaksud, pihak sekolah mengambil keuntungan Rp300.000 sampai dengan Rp500.000 per satu paketnya.
Tim Lembaga ORI DIY melakukan pemantauan ke lapangan, baik ke toko seragam yang ditunjuk pihak sekolah maupun toko seragam lain.
Pihaknya kemudian membandingkan harga seragam di toko yang ditunjuk sekolah dengan harga di pasaran.
"Kalau di pasaran itu tidak sampai Rp 1 juta untuk lima item. Kami penasaran juga mengapa seragam di sekolah lebih mahal. Kita hitung selisih itu sekitar Rp300 sampai Rp500 ribu per paketnya," terang dia.
Pihak ORI perwakilan DIY lalu membuat catatan di mana keuntungan harga per paket seragam Rp300.000 dikalikan jumlah sekolah lebih dari 350 sekolah di DIY, kemudian dikalikan jumlah siswa baru setiap satu sekolah asumsi 100 siswa, maka ditemukan totalnya mencapai Rp10,5 miliar.
Sedangkan total keuntungan per satu sekolah dari kumulasi itu mencapai Rp30 juta.
"Kami hitung moderat saja kalau Rp300 ribu per paket, dikalikan jumlah siswa yang masuk di sekolah itu biasanya sampai 200 siswa. Estimasi setengahnya saja jadi 100 siswa, mereka pesan satu paket gitu dikalikan jumlah sekolah di DIY akumulasi 350, ternyata total lebih dari Rp 10 miliar keuntungannya," ungkapnya.
Dari fakta yang ditemukan di lapangan itu, tim ORI perwakilan DIY menduga pihak sekolah enggan melepas pengadaan seragam karena faktor keuntungan berjualan seragam yang sangat besar.
"Kemungkinan karena ini, pihak sekolah tidak mau melepaskan pengadaan seragam. Apapun itu, memang ada faktor ekonomi yang sangat besar. Dan harga ini betul-betul dimark up oleh sekolah maupun yang mengadakan sekolah," tegas dia.
Chasidin menyayangkan pihak sekolah yang melakukan jual beli seragam kepada wali murid.
Sementara seragam sekolah semestinya menjadi hak atau kewajiban para wali murid, tanpa diatur oleh pihak sekolah.
"Karena kami cek dipasaran harganga tidak sampai segitu. Kalau kami beli sendiri satu paketnya cuma Rp500 ribu sampai Rp600 ribu. Tapi yang dijual sekolah bisa Rp1 juta lebih," lanjut Chasidin.
Ada Komite di dalam Komite
Agar jual beli seragam sekolah berjalan lancar, pihak sekolah menyiasatinya dengan membentuk Paguyuban Orang Tua siswa (POT).
POT ini fungsinya tidak jauh berbeda dengan komite sekolah. Paguyuban itu berisi perwakilan wali murid yang mengkoordinir pembelian seragam.
"Ini kami temukan sekolah menyiasati aturan larangan pengadaan menggunakan paguyuban orang tua (POT) sebagai koordinator pembelian seragam. Nyatanya tetap penentu harganya dari sekolah. Pengarahan toko jujukan pembelian seragam tetap dari sekolah, belinya dimana dan sebagainya," terang Chasidin.
"Lalu juga ada beberapa kita temukan rekening penjualan menggunakan rekening bendahara sekolah. Jadi POT ini sebetulnya hanya siasat saja," tegasnya.
Jika mengacu undang-undang, keberadaan POT tidak dibenarkan, karena hanya komite sekolah yang berhak mengumpulkan sumbangan dan hal lainnya.
Baca juga: Bupati Halim Bersyukur 912.073 Warga Bantul Telah Terdaftar Sebagai Peserta JKN
"Kami temukan perannya hampir mirip dengan komite. Ada yang mengadakan bahan seragam, peningkatan mutu pelajaran dan menggalang dana. Padahal dalam aturanya yang menggalang dana adalah komite. Kita coba merujuk permennya. Kalau perannya sama dengan komite, POT harus dibubarkan," lanjutnya.
Atas temuan itu, kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masturi memberikan kesimpulan dan saran perbaikan institusi.
Menurut Budhi, terdapat praktik komersialisasi layanan pendidikan melalui pungutan sekolah yang dikemas sedemikian rupa, seakan-akan sumbangan, penjualan seragam disertai dengan mark up keuntungan, dan potensi jual beli bangku kosong hal yang lumrah.
ORI perwakilan DIY memberikan saran kepada instansi terkait yakni perlunya evaluasi secara berkala terhadap juknis dan pelaksanaan PPDB.
Kedua, meminta adanya sosialisasi dan kampanye kepada masyarakat untuk mengubah mindset sekolah favorit.
Ketiga, menyusun regulasi daerah baik perda, pergub, dan lain-lainnya atau merevisi regulasi untuk mengatur penyelenggaraan PPDB baik sebelum, saat pelaksaan, dan sesudahnya.
"Keempat berikan sanksi dan pembinaan kepada penyelenggara dan pelaksana layanan pendidikan sekolah yang terbukti melakukan pelanggaran," terang Budhi.
Terakhir, menjadikan praktik-praktik pelanggaran PPDB yang terbukti dilakukan oleh penyelenggara dan pelaksana layanan pendidikan disekolah sebagai komponen penilaian akreditasi sekolah yang bersangkutan. (hda)