Kabar UGM
Peneliti UGM Soroti Kebijakan Soal Kenaikan Harga BBM dan Tata Kelola Pendistribusiannya
UGM menggelar Diskusi Akademik yang bertajuk BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsdi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan di ruang
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - UGM menggelar Diskusi Akademik yang bertajuk BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsdi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan di ruang Auditorium Mandiri, Fisipol UGM, Kamis (22/9/2022).
Dalam diskusi tersebut membahas Kenaikan harga BBM bersubsidi direspons dengan gelombang protes yang cukup luas oleh masyarakat.
Alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dikarenakan harga minyak dan gas dunia yang mengalami kenaikan akibat konflik Ukraina-Rusia.
Kelangkaan dan kenaikan harga minyak global menjadi sebuah dilema yang cukup berat yang harus direspons pemerintah.
Apalagi sejak tahun 2002 Indonesia sudah menjadi Net Importir Minyak Dunia.
Oleh karena itu, sudah selayaknya negara berpikir keras tentang transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) agar ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi energi fosil dapat dialihkan.
Meski begitu, pemerintah juga perlu berpikir keras untuk mempersiapkan kecukupan dan ketersediaan kuota BBM Bersubsidi hingga akhir tahun ini.
Baca juga: Penguatan Smart City, Pemkot Yogyakarta Dorong Kolaborasi Kabupaten Kota di DIY
Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas'udi, SIP., MPA., Ph.D., mengatakan ketersediaan energi merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan oleh negara selain pangan.
Menurutnya energi menjadi barang publik yang paling esensial. Menurutnya negara bertanggungjawab atas ketersediaan energi tersebut agar bisa diakses oleh masyarakat.
“Negara bertanggungjawab atas ketersediaan energi, harus cukup, terjangkau dan dapat diakses,” katanya.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi perlu dievaluasi sebab menaikkan harga BBM bersubsidi sebaiknya bukan lagi dari alasan beban anggaran.
”Perlu evaluasi secara komprehensif soal tata kelola. Selama ini pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan. Jika masalah pada subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan namun perlu tata kelola yang baik,” tegasnya.
Menurutnya Kenaikan harga BBM bukan persoalan besarnya beban anggaran subsidi, namun harus dilihat dari perspektif tanggung jawab negara untuk memastikan ketersediaan dan akses pada energi tersebut.
“Jangan sampai jika tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Karenanya perlu dirancang transisi energi pada energi baru dan terbarukan. Menggantungkan pada energi fosil adalah pemikiran lampau. Saya kita kebijakan transisi energi sangat penting,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho, M.Sc., memaparkan pendistribusian BBM bersubsidi kemungkinan bisa tidak tepat sasaran di mana seharusnya hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat kecil.