Kabar UGM
Peneliti UGM Soroti Kebijakan Soal Kenaikan Harga BBM dan Tata Kelola Pendistribusiannya
UGM menggelar Diskusi Akademik yang bertajuk BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsdi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan di ruang
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Kurniatul Hidayah
Dari hasil riset yang dilakukan oleh PSE, kata Agung, dari 7.000 lebih kecamatan di Indonesia sekitar 42 persen saja yang sudah memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU.
”Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih,” katanya.
Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana, Ph.D., mengatakan anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak tahun 2015. Lalu pada tahun 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan.
Sayangnya, harga pertalite tidak banyak berubah. Setelah premium dihapuskan, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan BBM non subsidi lainnya.
“Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” katanya
Baca juga: Kementerian PPPA Gelar Sosialisasi Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
Hal senada juga disampaikan anggota peneliti PSE, Saiqa Ilham Akbar, M.Sc. Ia menyampaikan bahwa kuota BBM yang terbatas sekarang ini hanya pada pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober ini namun bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada.
“Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” katanya.
Raras Cahyafitri M.Sc., menuturkan kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak bagi masyarakat kecil dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Karena itu pemerintah telah memberikan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM. Soal kebijakan subsidi BBM menurutnya sudah ada sejak era Orde Baru.
Tapi sebagai negara net importir minyak maka kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak di tengah masih adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal. (Rls)