Fisipol UGM Gelar Workshop yang Membahas Persoalan Tenaga Kerja di Indonesia

“Perlu ada kesempatan kerja yang produktif yang mendatangkan penghasilan yang layak. Dis amping perlindungan sosial dan prospek lebih baik dalam

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Kurniatul Hidayah
DOK
Ilustrasi pekerja 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Penciptaaan lapangan kerja yang layak masih menjadi tantangan dan persoalan di Indonesia.

Aturan soal perlindungan ketenagakerjaan dengan penghasilan yang layak menjadi sebuah keharusan untuk diwujudkan.

Namun regulasi bidang ketenagakerjaan yang ada sekarang ini tidak memungkinkan adanya penciptaan lapangan kerja yang layak karena adanya aturan memungkinkan perusahaan merekrut pekerja alih daya dan magang.

Padahal model hubungan kerja yang tidak tetap semacam itu justru memberi peluang adanya eksploitasi jadi meningkat, biaya tenaga kerja rendah dan termarginalisasi para tenaga kerja.

Baca juga: Kurangi Jejak Karbon, Boiler Biomassa Berbahan Sekam Padi Dioperasikan di Prambanan Klaten

Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion yang bertajuk Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precarity dan tantangan Sektor Ketenagakerjaan, Jumat (17/6/2022).

Diskusi yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM ini menghadirkan empat orang pembicara yakni Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI Prof. Anwar Sanusi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr. Amalinda Savirani, anggota peneliti Lembaga Penelitian Akatiga Indrasari Tjandraningsih MA, Aktivis Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos.

Indrasari Tjandraningsih mengatakan program perlindungan ketenagakerjaan sangat diperlukan jika ingin tenaga kerja kita mendapat penghidupan yang layak.

“Perlu ada kesempatan kerja yang produktif yang mendatangkan penghasilan yang layak. Dis amping perlindungan sosial dan prospek lebih baik dalam pengembangan personal dan kebebasan mereka dalam menyampaikan keluhan dan keprihatinan dalam pekerjaan,” ujarnya.

Namun yang tidak kalah lebih penting menurutnya adalah kebebasan bagi tenaga kerja untuk berorganisasi dalam merespon keputusan yang berdampak pada dunia kerja dan kesetaraan tenaga kerja perempuan dan laki-laki.

Ia mengkritisi bahwa UU Cipta Kerja yang ada sekarang ini menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang layak.

Meski UU tersebut diterbitkan untuk memudahkan perusahaan agar mampu beradaptasi dalam situasi kondisi ekonomi global yang rentan terhadap krisis.

Namun di sisi lain melonggarkan aturan ketenagakerjaan.

“Makin banyak aturan ketenagakerjaan makin rigid. Aturan yang seharusnya  melindungi pekerja berdampak pada biaya tenaga kerja,” katanya.

Hubungan kerja yang tidak tetap menurutnya makin melemahkan posisi tenaga kerja sebab perusahaan menganggap pengangkatan pekerja tetap harus dibayarkan pensiun dan jika ada pemecatan diharuskan mengeluarkan pesangon sehingga memberatkan perusahaan.

“Hubungan kerja tidak tetap ini makin meningkatkan peluang eksploitasi meningkat dan biaya tenaga kerja rendah dan marginalisasi tenaga kerja,” katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved