Kuliner

Melihat Produksi Jipang, Camilan Jadul yang Masih Bertahan di Yogyakarta

Jipang merupakan camilan yang terbuat dari bahan dasar beras atau jagung dengan campuran gula jawa, memiliki bentuk padat dan lengket.

Penulis: Neti Istimewa Rukmana | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Neti Istimewa Rukmana
Proses pembuatan Jipang Lancar, yang terletak di Kampung Sayidan Kelurahan Pawirodirjan, Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta, Kamis (21/4/2022) siang. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Jipang menjadi makanan ringan jadul yang masih bertahan pada saat ini.

Jipang merupakan camilan yang terbuat dari bahan dasar beras atau jagung dengan campuran gula jawa, memiliki bentuk padat dan lengket.

Tantuyah (62), seorang penerus Jipang Lancar, yang terletak di Kampung Sayidan Kelurahan Pawirodirjan, Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta , mengatakan, mulai meneruskan usaha milik suaminya yang bernama Encedahlan ketika tutup usia pada delapan tahun yang lalu.

"Karena suami saya yang mendirikan usaha itu pada 1980 lalu dan ada orang yang bekerja di tempat saya selama 30 tahun. Maka dari itu, saya ingin tetap meneruskan Jipang Lancar," kata Tantuyah kepada Tribunjogja.com , Kamis (21/4/2022) siang.

Baca juga: Manisnya Industri Gula Batu di Bantul Jelang Ramadan, Sehari Produksi 3 Ton

Ternyata, orang tua Tantuyah memiliki usaha jipang di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang berdiri sejak 1970.

Namun, setelah Tantuyah dan Encedahlan menikah, mereka mulai mendirikan usaha sendiri di Kota Yogyakarta, berbekal pengalaman dari orang tuanya.

Di era serba modern ini, ia masih memilih bertahan meneruskan usahanya itu yang dikelola menggunakan cara tradisional dan tenaga manusia.

Sebanyak enam orang selaku karyawan Jipang Lancar, ia libatkan dalam proses pembuatan jipang.

Dikatakannya, proses pembuatan jipang itu sendiri tidak memakan waktu banyak.

Sebab, tambahnya, pada pagi hari para pekerja menggoreng beras dan jagung menggunakan alat khusus. 

Kemudian, lanjutnya, gula jawa, air kanji, minyak, beras atau jagung yang sudah digoreng, dan beberapa campuran bahan lain, dituang ke dalam wajan besar sebagai bagian inti proses pembuatan jipang.

Dia menjelaskan, Selama 10 menit, adonan yang telah tercampur tersebut akan dituang ke dalam cetakan jipang dan akan dilakukan proses pencetakan dan pengemasan jipang dengan menggunakan tenaga manusia.

Dalam proses pembuatannya, ia juga tidak menggunakan bahan pengawet makanan, sehingga jipang yang dibuatnya hanya bisa bertahan sampai dua minggu saja. 

Sebelum pandemi Covid-19 , dia bisa memproduksi 70 kilogram jipang per hari.

Namun, kini ia hanya bisa memproduksi 50 kilogram per hari.

Tantuyah pun mengatakan, dalam segi harga para konsumen dapat mengeluarkan Rp20.000 per bal dan khusus sales cukup mengeluarkan Rp19.000 per bal dari produk tersebut. 

Nantinya, terdapat beberapa orang yang memasarkan produk itu, ke berbagai tempat baik di DIY hingga Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Baca juga: Resep Ditemukan Saat Masa Penjajahan, Sejarah Kuliner Sop Ayam Pak Min Klaten

Ia pernah mendapat pesanan dari luar pulau Jawa, namun ditolak olehnya.

Hal itu dilakukannya, untuk menjaga cita rasa yang baik.

Dia memiliki anggapan, apabila jipang terlalu lama di perjalanan bisa memicu rasa tidak enak untuk dikonsumsi.

Sementara itu, ia juga masih mengingat perjuangan suaminya saat merintis usaha.

Di mana, pihaknya pernah turut mengalami kegagalan ketika mulai memproduksi jipang.

"Pernah salah masaknya, jadi jipang gosong," ujarnya.

Tantuyah sebenarnya menginginkan satu di antara dua anaknya dapat meneruskan usaha tersebut, tetapi anak-anaknya sudah memiliki profesi masing-masing.

"Anak saya yang satu sudah jadi guru dan satu lagi wiraswasta, jadi usaha itu tidak ada penerusnya," tutupnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved