Feature
Turun-temurun Wariskan Bakat Bajingan, Mbah Prapto Tekuni Usaha Servis dan Bikin Gerobak Sapi
Gerobak sapi sebagai alat transportasi pengangkut barang dan orang sudah jarang ditemukan termasuk di wilayah Bantul.
Penulis: Santo Ari | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - Gerobak sapi sebagai alat transportasi pengangkut barang dan orang sudah jarang ditemukan termasuk di wilayah Bantul. Kini hanya beberapa orang saja yang masih memiliki gerobak sapi, itu pun sudah dialihfungsikan menjadi sarana wisata, seperti yang dikelola Jodogkarta (Jodog Karangasem Wisata) dari Paguyuban Gerobak Sapi Guyub Rukun. Dengan langkanya gerobak sapi, maka pembuat dan jasa reparasi gerobak sapi pun semakin sedikit yang ditemukan.
Seorang kusir gerobak sapi sekaligus pembuat gerobak yang masih eksis adalah Prapto Prayitno (85) warga Karangasem, Kalurahan Gilangharjo, Kapanewon Pandak. Di umur senjanya, Prapto masih tekun dalam mengolah kayu-kayu hingga menjadi sebuah gerobak sapi.
Keahliannya ini diturunkan dari bapaknya yang juga pembuat dan seorang kusir gerobak sapi. Bapaknya yang bernama Karto Sunjoyo sudah menjadi bajingan (sebutan kusir gerobak sapi dalam bahasa Jawa) sejak tahun 1920. Sementara Prapto sudah sejak tahun 1950 membuat gerobak sapi.
Saat ditanya mengapa ia masih membuat gerobak di usia tuanya, Prapto mengatakan bahwa ia masih menikmati pekerjaannya sampai sekarang. "Masih senang (membuat gerobak), dan masih laku dijual," ujarnya dengan menggunakan bahasa Jawa saat ditemui, Rabu (23/2/2022).
Ia pun tidak setiap saat membuat gerobak, dan hanya membuat berdasarkan pesanan yang didapat. Harganya pun beragam mulai dari Rp8 juta hingga Rp15 juta. Semakin baik bahan kayu yang dipakai, misalnya dengan kayu jati, maka harga gerobak pun semakin mahal. Membuat satu gerobak sapi membutuhkan waktu sekitar 15 hari
Selain membuat gerobak, dirinya pun juga menerima pengerjaan reparasi gerobak sapi. Si pemilik cukup datang ke rumahnya dan Prapto akan mengecek kerusakan dan tarifnya. Misalnya untuk ganti rajuk atau kayu penopang utama gerobak, biayanya sekitar Rp6 juta. "Kalau nyambung rajuk sekitar 1 juta," bebernya.
Adapun gerobak sapi memiliki sejumlah bagian yang memiliki nama sendiri-sendiri. Seperti trucuk atau ujung kayu yang melengkung seperti bajak kayu pada bagian depan gerobak. Ada pula tempat leher sapi yang disebut sambilan, lalu angkul-angkul yaitu kayu untuk mengunci leher sapi dan dadung yaitu tali untuk sapi. Selain itu ada tumpangsari yaitu tempat bajingan duduk untuk mengendalikan sapi.
Selain itu, ada pula tepong yaitu nama untuk bagian penutup belakang gerobak. Gribig, yakni dinding anyaman berwarna-warni yang ada di sebelah samping kanan dan kiri gerobak sapi. Dan kroso yang merupakan dinding samping kanan-kiri bagian atas. "Yang susah adalah aksesoris, kroso, gribik, sama tepong itu perlu keahlian khusus, maka memesan perajin," ungkapnya.
Prapto juga menyatakan, tidak semua detail gerobak ia buat sendiri, ada beberapa bagian yang ia harus mencarinya. Misalnya roda gerobak di mana ia harus membeli roda jip atau roda truk bekas.
Dengan tubuh tuanya, Prapto juga mengakui bahwa kadangkala ia harus minta bantuan orang lain saat membuat gerobak sapi. "Kalau sulit, ya, cari teman, kalau dikerjakan sendiri, (bagi) orang tua, ya, susah. Kalau pekerjaan agak banyak cari teman, nanti saya yang mengarahkan," tuturnya.
Dalam membuat gerobak, Prapto biasanya ditemani anak pertamanya, Sriyanto (48) yang juga menekuni profesi bajingan. Ia juga terkadang dibantu tetangganya jika banyaknya pesanan gerobak.
Dilestarikan
Sriyanto menyatakan bahwa dirinya juga tertarik menggeluti gerobak sapi. Menurutnya gerobak sapi merupakan alat transportasi zaman dulu yang perlu dilestarikan. "Kalau bukan kita yang melestarikannya siapa lagi," katanya.
Adapun bagi pemilik gerobak, keindahan dan estetika gerobak juga menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan ada acara khusus untuk menilai keindahan gerobak sapi. Seperti Sumardiyanto (47), Dukuh Siluk 1, Kalurahan Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Bantul. Ia mengakui beberapa kali menjuarai perlombaan gerobak sapi. "Sudah tiga kali menang, biasanya dapat trofi dan sedikit uang," ucapnya.
Gerobak sapi yang dimilikinya sudah berumur sekitar 50 tahun. Gerobak itu peninggalan dari kakeknya. Meksi sudah terbilang tua, namun Sumardiyanto mengaku tidak mengalami kesulitan dalam perawatannya. "Sapinya yang susah," kelakarnya. (Santo Ari)
Baca Tribun Jogja edisi Selasa 1 Maret 2022 halaman 01