JHT Baru Bisa Dicairkan di Usia 56 Tahun, KSPSI Kota Yogya: Jelas Menolak!
Bukan tanpa alasan, ia menilai peraturan tersebut sangat merugikan para pekerja.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan buruh di Yogyakarta menegaskan penolakannya terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Melalui payung hukum tersebut, JHT baru bisa dicairkan di usia 56 tahun.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Yogyakarta, Deenta Julliant Sukma menandaskan, pihak DPP pun siap melayangkan gugatan, apabila Permenaker itu benar-benar direalisasikan.
Bukan tanpa alasan, ia menilai peraturan tersebut sangat merugikan para pekerja.
"Makanya, kami jelas menolak, karena hak yang seharusnya diterima pekerja ketika kena PHK, atau tidak bisa bekerja lagi, tidak bisa diambil sampai usia 56 tahun. Kebijakan yang tidak pro pekerja. Terlebih, di tengah pandemi, serta ancaman gelombang PHK," tandas Deenta, Senin (14/2/2022).
Menurutnya, pemerintah pun tidak bisa serta merta berdalih dengan keberadaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di PP No. 37 Tahun 2021 atau turunan UU No. 11 Tahun 2022. Pasalnya, skema pencairannya cenderung sukar.
"Selain UU babonnya sudah dianulir MK karena cacat formil, juga tak semudah yang dibayangkan dalam proses pengambilannya. Nilainya pun saya rasa tidak sebanding," urainya.
Baca juga: Aturan Main Baru JHT Jaminan Hari Tua, Ramai-ramai Ditolak
Baca juga: Aturan Main Baru JHT, Bisa Dicairkan Sebagian, Begini Caranya
Deenta menambahkan, situasi di Yogyakarta semakin parah, karena baru sekira 300 ribu dari total 800 ribu pekerja formal yang sudah tercover BPJS Ketenagakerjaan.
Karena itu, para pekerja informal dewasa ini baru mendapat layanan JKK, maupun JKM, yang iurannya dinilai lebih murah.
"Itu berarti jumlah pekerja informal di DIY belum sampai 50 persen, yang tercover BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga, bisa dipastikan, masih banyak pekerja baik formal dan informal, yang tak terlindungi jaminan sosial," cetusnya.
Deenta menjelaskan, kendala yang dijumpai di lapangan, masih banyak perusahaan yang belum membayar upah pekerja sesuai dengan upah minimum provinsi, atau kabupaten dan kota.
Padahal, ujarnya, syarat utama menjadi peserta BPJS ketenagakerjaan ialah upah selaras UMP/UMK.
Sementara, pengawasan dari Pemda DIY, maupun Pemkab dan Pemkot dalam menegakakkan aturan soal kepesertaan jaminan sosial pekerja dianggap sangat lemah.
Di samping itu, kebijakan mengenai perlindungan ketenagakerjaan, khususnya sektor informal, urung dikeluarkan.
"Beberapa kali, kami sudah mendorong, bagaimana APBD, atau Dana Keistimewaan bisa mengcover jaminan sosial bagi pekerja informal. Tapi, Pemda DIY lebih condong pada pembangunan sifatnya monumental," keluhnya. (Tribunjogja)