Kuliner Jogja
KULINER JOGJA : Mencicipi Racikan Jamu Ginggang Langsung dari Dapurnya
Jamu merupakan ramuan tradisional yang dimanfaatkan untuk pengobatan. Banyak rempah-rempah yang digunakan, mulai jahe, kencur, temulawak, dan kunir.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - Banyak penjual jamu di Yogyakarta. Namun warung jamu satu ini berbeda dengan yang lainnya. Sebab jamu yang dijajakkan adalah jamu yang dulunya dirasakan bangsawan Kadipaten Pakualaman. Namanya adalah Jamu Ginggang.
Bagi Anda yang penasaran dengan kuliner Jogja yang satu ini, letaknya tak jauh dari Pura Pakualaman, tepatnya di Jalan Masjid No 32 Kauman, Gunungketur, Pakualaman, Yogyakarta.
Pengelola Jamu Ginggang, Ike Yulita Astiani (60) mengatakan, Jamu Ginggang adalah resep turun-temurun dari kakeknya. Kakeknya yang bernama Joyo merupakan abdi dalem tabib di Kadipaten Pakualaman.
"Mbah Joyo kemudian membuatkan jamu untuk Sri Paku Alam VII, ternyata cocok. Dari situ Simbah saya diberikan kepercayaan dari kadipaten untuk memperkenalkan jamu tersebut di lingkungan Pakualaman. Kemudian diberi nama Joyo Tan Ginggang. Artinya tidak ada pemisah antara Kadipaten Pakualaman dengan lingkungan di sekitar Pakualaman," ucapnya, Minggu (23/1/2022).
Mbah Joyo, lanjut dia, mulai memperkenalkan Jamu Ginggang sekitar tahun 1925 hingga 1930.
Setelah Mbah Joyo tiada, jamu ini diteruskan oleh Mbah Bilowo. Lalu dilanjutkan oleh Mbah Kasidah.
Mbah Kasidah inilah yang memperkenalkan Jamu Ginggang ke masyarakat Yogyakarta secara luas.
Sebab Jamu Ginggang dipasarkan dengan cara digendong hingga ke Pasar Beringharjo, pasar tradisional terbesar di Yogyakarta.
"Dulu kan cuma emplek-emplek (mengemper), kemudian Mbah Kasidah ini bisa beli tanah di Pakualaman, termasuk rumah produksinya. Ya, sama yang ditempati sekarang," tutur Ike.
Resep jamu kemudian diturunkan kepada Mbah Prawito. Setelah itu diteruskan oleh Yayuk yang saat ini sudah masuk generasi kelima.
Resep Jamu Ginggang saat ini masih sama dengan resep yang diminum oleh Sri Paku Alam VII. Sebab dari generasi ke generasi menjaga resep tersebut. Termasuk cara pembuatannya.
Nyaris seabad
Meski sudah hampir satu abad, namun cara pembuatannya masih tetap sama.
Semua proses dilakukan manual dengan alas batu.
"Untuk mencuci alasnya batu juga, kemudian menumbuk juga pakai batu. Semua pakai batu, untuk masaknya pakai kayu bakar. Semua metode masih sama seperti dulu, resepnya juga sama. Cuma sekarang tambah es saja," ungkap Ike.