Asal Usul Lembah Cangkring, Wisata Kuliner di Perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah
Lembah si Cangkring, di dusun Jambeyan, Kalurahan Banyurejo, Tempel kini ramai didatangi banyak pengunjung. Setiap akhir pekan
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Iwan Al Khasni
Lembah si Cangkring, di dusun Jambeyan, Kalurahan Banyurejo, Tempel kini ramai didatangi banyak pengunjung. Setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, banyak warga berdatangan untuk berburu kuliner tradisional dan menikmatinya di pinggir sungai Krasak yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Siapa sangka, sebelum ramai menjadi jujugan banyak orang, lembah si Cangkring, di perbatasan Sleman dan Magelang ini dulunya adalah lahan sawah - pekarangan milik Kalurahan Banyurejo, yang banyak ditumbuhi tanaman liar.
"Dulunya ini sawah pekarangan, tanah kas desa, banyak tumbuhan liar. Lahan yang tidak diperhatikan. Kemudian setelah diberi izin mengelola, kami bersihkan," kata Bendahara sekaligus Inisiator Lembah si Cangkring, Adriyantopo, Sabtu (8/1/2022).
Perjuangan hingga akhirnya bisa ramai dan dikunjungi banyak orang tidaklah mudah. Andriyantopo bercerita, awal mula lahan dibersihkan tahun 2018. Setelah itu, Desember akhir 2020, Ia mengajak warga untuk berjualan. Namun peminatnya sedikit. Karena saat itu, lokasinya masih sepi dan warga lebih tertarik berjualan online.
Tanggal 1 Januari 2021 resmi dibuka. Ia sendiri menjadi inisiator yang mengawali membuka lapak dengan berjualan menu makanan tradisional.
Di antaranya, Bubur Krecek, Nasi Bebek dan Nasi Megono. Ternyata, dagangannya itu banyak diminati pengunjung. Terutama pesepeda yang melintas di Jalur Banyurejo - Bligo. Perlahan tempat itu mulai ramai. Banyak warga yang akhirnya tertarik berjualan. Kini, sudah ada 15 pedagang. Konsepnya adalah pasar jadoel yang menjual aneka makanan tradisional.
"Kita akan tetap menjaga ketradasionalannya. Kedepan, mungkin akan menambahkan dengan menggali menu yang belum ada. Seperti Brongkos, maupun Serabi. Kami juga ingin ada spot atraksi memasak kuliner tradisional," kata dia.
Tiap akhir pekan, lembah si Cangkring ramai dikunjungi banyak orang. Di hari Sabtu, Andiyantopo yang berjualan bubur Krecek, mengaku mampu menghabiskan 1.5 sampai 2 kilogram beras. Jika hari Minggu bahkan peminatnya lebih banyak lagi bisa menghabiskan 3 kilogram beras.
Ketua Paguyuban Pasar Lembah si Cangkring, Eko Putro Susilo, mengatakan hampir mayoritas yang dijajakan di pasar ini adalah kuliner tradisional. Konsep kuliner jadul itulah yang menjadi magnet bagi pengunjung. Apalagi harga makanan yang dijual cukup terjangkau. Rata-rata tidak lebih dari Rp 20 ribu.
"Saya itu kepengen pengunjung yang datang ke sini, makan tidak lebih dari Rp 20 ribu. Jadi kalau kesini bawa uang Rp 20 ribu ya, kira-kira bisa buat makan, sekaligus beli minuman," tutur dia, lalu tertawa.
Beragam kuliner jadul tersaji di pasar ini. Mulai dari Bubur kricak, Megono, Gudeg Pecel, Jadah tempe, Cucur, Lopis, Gatot, Tiwul, Wajik hingga Nasi Wiwit dengan lauk suwiran ayam.
Di bagian minuman tersedia wedang Bajigur, Dawet, Bandrek, Es jadeol, kopi tubruk, sekoteng, wedang uwuh dan Jahe gula jawa sereh.
Konsep pasar ini sebenarnya cukup sederhana. Stand pedagang berjejer dan pengunjung bisa menikmati kuliner di tepi sungai yang telah ditata. Suasananya menyenangkan.
Selain makanan tradisional dan harga yang terjangkau, Lembah si Cangkring juga menjajakan aneka mainan tradisional. Mulai dari gangsingan dan otok-otok. Kadang juga tersedia suling.
Eko mengatakan, penambahan mainan ini, agar pengunjung yang datang dengan membawa buah hatinya bisa sekaligus mengenalkan permainan tradisional kepada si anak.