Gusmen Heriadi Seniman asal Minang Gelar Pameran Tunggal 25 Tahun Berkarya di Yogyakarta

 Seniman kontemporer Indonesia, Gusmen Heriadi menggelar pameran tunggalnya yang kesepuluh dalam karir berkeseniannya.

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Kurniatul Hidayah
istimewa
Penampakan sejumlah karya yang dipamerkan oleh Seniman Gusmen Heriadi pada pameran tunggal 25 tahun berkarya di Jogja Gallery, 7-30 November 2021. 

Lukisan-lukisan seri tematik Gusmen juga menampilkan beragam gaya atau style, mempertegas kebebasannya dari kungkungan ciri khas kesenimanan.

Sejarahwan dan jurnalis, Wenri Wanhar, yang juga didapuk jadi perespons untuk karya serial “Kitab” dan “Kembang Alam” menilai Gusmen bukan sekadar pelukis. Tapi juga filsuf.

Melalui fragmen lukisan Seri Kitab, Gusmen  mempertontonkan hamparan buku, wajah-wajah para pemikir yang mempengaruhi selapis peradaban dunia. Jika buku adalah lambang pengetahuan, semakin manusia menceburkan diri ke dalamnya, maka harapannya relasi manusia dengan semesta semakin baik. Karena yang memimpin adalah ilmu pengetahuan.

Sedangkan pada seri Kembang Alam, Gusmen merepresentasikan kenyataan berkebalikan. Ia menggunakan simbol satwa 'termasuk manusia, dan yang tak terlihat' pada ruang hidup yang seolah menanti kemusnahan di ujung jalan. 

“Dua seri lukisan ini mengajak kita membaca kontradiksi. Landskap kehidupan yang berjalan menuju arah saling membelakang. Manusia merasa bergerak maju dengan ilmu pengetahuannya, namun keselarasan alam raya malah mengalami kemunduran. Ada relasi yang rusak. Ada kausalitas yang sesat,” tulisnya.

Sementara, Penulis Sudjud Dartanto mengatakan Gusmen adalah sedikit perupa yang tak perlu diragukan lagi soal penguasaan teknis, terutama pada caranya melahirkan rupa puitik dari percakapan dan pengamatan atas objek dan fenomena sosial-budaya.

“Ia adalah aset perupa Indonesia yang mewartakan spirit universal, dalam arti karya-karyanya dapat diapreasiasi oleh manusia tanpa batas" katanya.

Sketsa Penjara

Di antara ratusan karyanya itu, Gusmen menyisipkan babak kecil dalam perjalanannya berkesenian. Itu berupa sketsa-sketsa yang dibuatnya saat mendekam selama satu setengah bulan di penjara di Yogyakarta.

Peristiwa itu terjadi 1997 silam. Gusmen masuk bui karena terjaring operasi razia senjata tajam. Polisi mendapati sebilah rencong dalam tasnya di kawasan Malioboro. Padahal rencong itu adalah cenderamata dari kawannya asal Aceh.

Di penjara, Gusmen membuat belasan sketsa. Menggambarkan suasana kehidupan orang-orang pesakitan. Kertas dan bolpoin dia peroleh dari Ibrahim. Kawan sesama perupa dan mahasiswa ISI Yogyakarta.

“Ada satu hal  kuperoleh dari pergaulanku dengan sesama napi, rata-rata dari mereka tak merasa benar-benar bersalah dan pantas dihukum. Dalam penjara, aku juga mahfum. Hukum bisa dibeli. Seorang jaksa menemui kawanku. Meminta sejumlah uang untuk meringankan hukumanku,” tulis Gusmen dalam pengantar karya sketsa penjara yang dia beri tajuk “rencong”.

Kakak kandung Gusmen Heriadi, Syofiardi Bachyul jb mengenang adiknya itu sebagai anak nakal. “Mungkin pengaruh ia lahir bulan Agustus dan berbintang Leo. Bisa juga campuran nakal dengan keingintahuan yang tinggi. Waktu masih bisa merangkak ia pernah hanyut dan nyaris digilas truk fuso,” tulisnya.

Gusmen juga pernah diusir Guru Fisika dari kelas dan disuruh menghormat bendera di lapangan hingga jam pelajarannya usai. Ia dihukum karena saat Bu Guru menerangkan pelajaran Gusmen kedapatan asyik menggambar.

Kesukaan membaca komik juga berpengaruh besar kepada Gusmen untuk menjadi pelukis.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved