Pandemi Covid 19
Kini, Mereka Sangat Optimis Setelah Jatuh Bangun di Masa Pandemi
Para pengelola desa wisata kini mulai optimis bisa bangkit dari keterpurukan menyusul penurunan angka kasus covid-19 beberapa waktu belakangan ini
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - Pandemi covid-19 di Indonesia telah berlangsung selama hampir 2 tahun sejak ditemukannya kasus pertama pada Maret 2020 lalu. Selama itu pula, berbagai kegiatan dibatasi, utamanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi menjadi sumber penularan covid-19 selanjutnya.
Semisal sekolah diliburkan, kantor-kantor menerapkan skema kerja dari rumah, restoran ditutup, layanan publik dibatasi, event-event skala besar ditunda, transportasi dibatasi, serta obyek-obyek wisata pun ditutup.
Selama pembatasan itu, ruang gerak menjadi terbatas hingga tak heran hal itu berimbas langsung pada sektor perekonomian yang ikut ambruk.
Kini, setelah angka kasus covid-19 berangsur-angsur mulai menurun, disiplin protokol kesehatan mulai membudaya serta vaksinasi yang kian meluas, harapan masyarakat pun semakin besar. Harapan bahwa tak lama lagi mereka bisa kembali bangkit dari keterpurukan.
Hal itulah yang dirasakan warga pengelola Desa Wisata Sejarah, Kelor, di Kapanewon Turi, Kabupaten Sleman.
Mereka kini merasa begitu optimis bahwa pandemi akan segera berakhir.
Kalau pun belum, mereka tetap percaya bahwa penurunan level PPKM ini bisa membawa angin segar pada sektor pariwisata yang mereka kelola.
"Optimis, yang penting prokes tetap jalan," tandas Purnomo, pengelola desa wisata tersebut, Sabtu (23/10/2021).
Bukan tanpa alasan. Purnomo mengatakan bahwa warga memanfaatkan libur setahun lebih selama PSBB untuk melakukan evaluasi, meningkatkan kemampuan maupun membuat program-program untuk masa mendatang.
Hal itu dilakukan sebagai langkah antisipasi agar ke depannya bisa beradaptasi dengan situasi yang serba baru, yakni situasi pascapandemi. Mereka juga mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu obyek wisata sudah boleh dibuka kembali.
Purnomo mengenang bahwa perjuangan mereka dalam melalui masa pandemi ini memang cukup berat.
Sektor pariwisata yang lumpuh, praktis membuat mereka kehilangan pendapatan sama sekali dari obyek wisata yang sudah dikelola sejak tahun 2006 tersebut.
Sebagai informasi, warga Kelor memanfaatkan sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utamanya. Terutama pada budidaya salak pondoh. Sadar akan potensi lain yang ada di desanya, mereka kemudian merintis desa wisata.
Perlahan tapi pasti, desa wisata itu banyak diminati wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara. Jumlah tamu pun meningkat dari tahun ke tahun.
Hasilnya pendapatan warga meningkat, mereka juga terus berbenah dengan melakukan pengembangan wahana wisata, membangun gazebo baru, membuka lahan baru untuk camping ground, memperbaiki jalan, membangun kantor sekretariat, membuat kolam ikan dan fasilitas lainnya.
Berdasarkan catatan, jumlah kunjungan tamu ke Desa Wisata Kelor pada tahun 2017 ada 18,627 kunjungan, di tahun 2018 sebanyak 17,581 kunjungan, di tahun 2019 mengalami penurunan dengan 13,548 kunjungan serta terjadi penurunan sangat drastis di tahun 2020 dengan 2,874 kunjungan.
Adapun selama masa pandemi, lantaran tidak ada pemasukan dari obyek wisata, beberapa di antaranya ada yang kembali mengandalkan dari salak pondoh atau hasil alam lainnya.
"Tapi waktu itu salak juga pas langka," tambah Purnomo.
Tak kehabisan ide, warga kemudian mencoba memanfaatkan tren bersepeda yang sempat booming beberapa waktu lalu.

Mereka membuat tempat pemberhentian atau tempat beristirahat para pesepeda yang mereka sebut stanplat pit.
Dari situ, warga bisa menjajakan berbagai penganan tradisional.
Awalnya memang sempat ramai, tapi kemudian perlahan-lahan kembali sepi peminat hingga akhirnya berhenti.
"Sempat bingung juga, harus gimana," tambahnya.
Tak banyak yang bisa dilakukan selain berharap agar pandemi ini segera berakhir.
Kini, saat-saat yang ditunggu pun tiba.
Pemerintah menurunkan level PPKM di level 2 untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hal itu dibarengi dengan pembukaan sektor-sektor publik termasuk di antaranya sektor pariwisata.
Purnomo dan warga lainnya siap menyambut peluang itu dengan penuh optimisme.
Ada sejumah program yang sudah mereka persiapkan untuk menyambut para tamu.
Tak lupa mereka mempersiapkan segara sarana dan prasana protokol kesehatan.
"Sudah lebih dari 80 persen warga di sini sudah melaksanakan vaksinasi covid-19" kata Purnomo.
Bagi Purnomo dan warga lainnya, momen ini bisa menjadi tonggak awal bangkitnya kembali perekonomian. Mereka siap untuk menyambut 'hari yang baru' dengan semangat yang baru pula.
"Yang penting tetap jaga protokol kesehatan. Nah supaya ramai, cepat bangkit, ya kita perlu berinovasi dan kreatif," tandasnya.
Kreativitas yang sama dilakukan juga oleh sejumlah pengelola desa wisata di Kulonprogo.
Sederet program telah mereka persiapkan sejak obyek wisata ditutup sementara.

Semisal di Bukit Wisata Pule Payung.
Pihak pengelola melakukan sejumlah perubahan seperti spot-spot yang dulunya berbayar semua sekarang tinggal spot khusus untuk wahana adrenalin atau minat khusus yang berbayar.
Mereka juga melakukan inovasi pada menu-menu yang tersedia.
"Kini menunya lebih 'ndeso'," kata Humas Bukit Wisata Pule Payung Eko Purwanto saat ujicoba pembukaan wisata.
Senada, Pengelola Wisata Goa Kiskendo, Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Suisno menitikberatkan pada penyiapan sarana dan prasana protokol kesehatan berbasis CHSE.
"Kami dari pengelola bersinergi bagaimana kunjungan bisa nyaman saat di Goa Kiskendo," ucapnya
Lain lagi dengan yang dilakukan pasangan suami istri di Kabupaten Magelang, Mura Aristina dan Linda Purwaningsih.
Warga Bumen, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini tak kehabisan ide saat pekerjaannya sebagai pemandu wisata di Candi Borobudur berhenti total selama pandemi.

Mereka membuat penganan tradisional berbahan dasar thiwul.
Namun ini bukan thiwul sembarang thiwul karena supaya diminati pasar maka mereka pun menciptakan thiwul yang unik, yakni Thiwul Lava Merapi.
"Kali pertama dibuat pada bulan Agustus 2020, saat pandemi Covid-19. Waktu itu saya terpepet ekonomi, akhirnya istri saya memberikan ide membuat tiwul juga lumayan. Pelan-pelan belajar membuat tiwul,” ujarnya kepada Tribunjogja.com, pada Jumat (22/10/2021).
Adapun bentuk, Tiwul Lava Merapi dibuat semirip mungkin dengan Gunung Merapi.
Bagian badan gunung dibuat dari tepung singkong, sedangkan bagian puncaknya diberi lelehan gula Jawa mirip cairan lava.
Jika diiris gula Jawa itu itu akan lumer.
"Iya betul (mirip Gunung Merapi). Inspirasinya salah satunya dari lava Merapi itu puncaknya ada lavanya di mana itu kalau diiris kemudian lumer, ndledek seperti kondisi Merapi ketika aktif," ungkapnya.
Adapun 'Tiwul Lava Merapi', awalnya dijual secara daring melalui media platform WhatsApp.
Lantaran responnya bagus, mereka pun akhirnya membuka warung kecil di rumahnya agar para pembeli yang ingin membeli bisa datang langsung.
Tiwul yang mereka buat tersedia dalam berbagai varian rasa. Ada rasa gula Jawa, cokelat keju, cokelat atau keju saja.
Kemudian, ada juga yang dikombinasikan dengan pisang.
Thiwul itu dibanderol dengan harga Rp15.000 untuk rasa gula jawa, cokelat keju Rp17.000, cokelat Rp15.000 dan keju Rp15.000.
Sedangkan yang kombinasi cokelat keju pisang Rp20.000. Namun demikian yang paling disukai tiwul rasa gula Jawa.
“Kalau di sini paling ramai disukai adalah rasa gula Jawa, tapi selain itu anak-anak biasanya yang suka itu cokelat keju, cokelat atau keju, kemudian ada mix dengan pisang juga. Per hari bisa menjual hingga 20 tiwul,” katanya.
(MON/SCH/NAN/TRIBUNJOGJA.COM)