Tahlilan Setahun Meninggalnya Dalang Ki Seno Nugroho, Elisha dan Ika Suhesti Ziarah ke Makam Semaki

Acara tahlilan setahun meninggalnya dalang Ki Seno Nugroho digelar di kediaman keluarga di Dusun Gayam, Argosari, Sedayu, Bantul.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: ribut raharjo
TRIBUNJOGJA.COM / Setya Krisna Sumargo
Pesinden, Nyi Elisha Orcarus 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Acara tahlilan setahun meninggalnya dalang Ki Seno Nugroho digelar di kediaman keluarga di Dusun Gayam, Argosari, Sedayu, Bantul, Jumat (22/10/2021) malam.

Waktu setahun meninggalnya Ki Seno Nugroho ini terbilang berdasarkan penghitungan kalender Jawa. Jatuh pada Jumat Legi, 22 Oktober 2021.

Menurut kalender nasional, Ki Seno Nugroho wafat pada 3 November 2020 di RS PKU Muhammadiyah, Jalan Wates, akibat sakit.

Ki Seno Nugroho, dalang idola generasi tua muda ini putra almarhum dalang legendaris Ki Suparman. Ia meninggal dunia pada usia 48 tahun.

Kepergian dalang yang masih cukup muda dan memiliki banyak kelebihan itu mengejutkan banyak penggemarnya.

Pada malam meninggalnya di tengah pandemi Covid-19 itu, ribuan orang melayat langsung maupun mengikuti secara daring.

Keesokan harinya, ribuan orang mengantarkan pemakaman almarhum di Astana Semaki Gedhe, Umbulharjo, Kota Yogya.

Tahlilan dan kenduri setahun meninggalnya Ki Seno Nugroho semalam di Joglo Jodipati, diikuti warga sekitar kediaman keluarga almarhum, kerabat keluarga, dan sebagian seniman Wargo Laras Classic.

Putra almarhum Ki Seno Nugroho yang mewarisi bakat mendalang, Gading Pawukir, tampak mengenakan baju batik. Rambutnya terlihat gondrong.

Sebelumnya, duo pesinden Wargo Laras Classic, Elisha Orcarus Allaso dan Ika Suhesti, terlihat berziarah ke makam almarhum Ki Seno Nugroho, yang menyatu dengan makam ayahnya.

Keduanya menaburkan kembang dan meletakkan karangan bunga di papan nisan yang bertuliskan Ki Seno Nugroho.

Mengunggah foto ziarah ke makam Semaki Gedhe di akun Instagramnya (terverifikasi), Elisha yang namanya kerap dituliskan menggunakan insial EOA, membuat catatan kenangan.

Elisha yang kerap menyebut Ki Seno Nugroho itu bapak, guru, dan juga teman berkesenian, mengenang walau sudah setahun berlalu, suara almarhum masih selalu berkumandang.

“Di pojok angkringan, warteg, di atas becak, di kantor dinas, sekolah, kampus, dan perusahaan. Masih banyak orang yang terhibur dengan tawamu di panggung,” tulis pesinden dan juga dalang asal Palu, Sulawesi Tengah ini.

“Semakin bermunculan peneliti yang kagum dengan karyamu. Sembah nuwun pak e, didikanmu, kasih sayangmu, untuk kami. Swargi langgeng, surge tempatmu,” lanjut Elisha.

Beberapa hari sesudah meninggalnya Ki Seno Nugroho, Elisha secara khusus mengirimkan pesan suara ke Tribunjogja.com.

Itu pesan kesan dan komentar publik pertamanya ke media, sesudah berhari-hari Elisha mengaku sulit menghapus rasa sedihnya.

Sinden asal Lambelu, Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Elisha memilih bungkam selama beberapa hari, akibat kesedihan mendalam.

Ia hadir di rumah sakit ketika Ki Seno Nugroho dikabarkan meninggal, menyertai kepulangan hingga ke Dusun Gayam, Sedayu.

Saat pelepasan jenazah Ki Seno Nugroho dari kediaman, Elisha turut membawakan gending ladrang, yang khusus ditembangkan menuruti wasiat almarhum.

Baru Sabtu (7/11/2020), Elisha Orcarus merasa sudah mampu menata hati dan pikirannya. Ia bersedia berbagi curah perasaan kepada Tribun.

“Jenengan yang pertama, karena kemarin wartawan-wartawan pada telepon, tanya, ndak saya jawab, karena aku masih belum siap. Sekarang sudah bisa menata hati,” kata Elisha.

Elisha juga mengizinkan Tribun mengutip curahan hatinya kehilangan Ki seno Nugroho, yang ia tulis di akun Instagramnya dua hari terakhir.

“Aku sedang belajar menata hati yang hancur berkeping, kehilangan sosokmu dalam hidupku,” kata Elisha sembari memuji almarhum Ki Seno Nugroho sebagai sosok tegar seperti gunung.

Ki Seno, di mata Elisha yang pernah belajar pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, figur yang mengayomi banyak orang, tak pandang bulu, tak pandang usia.

Banyak ilmu dan teladan, menurut Elisha, diwariskan Ki Seno. “Beliau tanpa batas mempertemukan berbagai zaman dan elemen pertunjukan dalam karyanya,” lanjut Elisha.

Dalam keseharian, Ki Seno Nugroho kerap mengajak diskusi-diskusi kecil yang ternyata kemudian jadi rancangan besar, bahkan visioner.

Ki Seno Nugroho menurut Elisha juga mampu menyembunyikan sesuatu, misalnya sakit, dalam balutan tawa dan guyonan-guyonannya.

Sebagai “bos” di grup kesenian wayang dan kerawitan Wargo Laras, Ki Seno Nugroho juga mampu membesarkan hati dan jiwa mereka yang terkadang sedang menghadapi masalah.

Ki Seno Nugroho yang mengidentifikasi diri sebagai Ketua Pemuda Karangkadempel, menurut Elisha juga telah membentuk dirinya menjadi besar dan mampu berdiri menghadapi tantangan zaman.

“Bapak (Ki Seno Nugroho) telah mengajariku banyak hal untuk tegar seperti gunung, tenang seperti karang,” kenang Elisha.

“Bapak (Ki Seno), itu terang saat kami merasa buntu dan gelap, pemimpin bijak, peka dan tegas. Ia sahabat yang menenangkan, rekan yang visioner,” lanjutnya.

Di berbagai pentas, baik yang langsung sebelum pandemi virus corona, maupun hingga akhir hayatnya, aksi panggung Elisha dan Ki Seno ditunggu para penggemar wayang kulit.

Keduanya benar-benar mampu menghidupkan suasana, lewat guyonan bersahut-sahutan yang cepat dan kreatif.
Elisha, sinden langka karena mungkin satu-satunya pesinden seni Jawa asal Sulawesi, mampu memaksimalkan kekurangan maupun kelebihan dirinya.

Logatnya yang aneh, bahasa Jawa yang lucu karena dialeknya campur-campur, serta aksi-aksi beraninya melawan Ki Seno Nugroho, begitu menghibur. (Triobunjogja.com/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved