WHO dan UNICEF Dukung Indonesia Segera Gelar Sekolah Tatap Muka, Berikut Rekomendasinya

Rekomendasi tersebut keluar setelah selama 18 bulan sekolah di Indonesia memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM / Ardhike Indah
Siswa segera pulang setelah mengikuti uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) hari pertama di SD Negeri Serayu, Kota Yogyakarta, Jumat (28/5/2021) 

TRIBUNJOGJA.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) mendesak agar Indonesia kembali membuka dan melanjutkan pembelajaran tatap muka di seluruh sekolah di tanah air sesegera mungkin.

Bahkan di daerah dengan tingkat Covid-19 yang tinggi, WHO merekomendasikan agar sekolah tetap dibuka kembali.

Rekomendasi tersebut keluar setelah selama 18 bulan sekolah di Indonesia memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Adapun pembukaan sekolah harus dilakukan secara aman mengingat adanya penularan varian delta yang tinggi.

Baca juga: Kecuali di Zona Merah, Sleman Bakal Gelar Sekolah Tatap Muka Serentak Pada Oktober 2021

Baca juga: Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka Terbatas di Bantul, Hanya untuk Sekolah di Zona Hijau dan Kuning

Pembukaan sekolah harus dilakukan dengan langkah-langkah untuk meminimalkan virus, seperti menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat di antaranya menjaga jarak fisik setidaknya satu meter, dan mencuci tangan dengan sabun secara teratur.

“Jadi, penting bahwa ketika kami membuka sekolah, kami juga mengendalikan penularan di komunitas-komunitas itu,” ujar Dr Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia dalam keterangan tertulis sebagaimana disampaikan dalam laman resmi WHO, 16 September 2021.

Dampak penutupan sekolah

WHO juga menyebut dengan protokol keamanan yang ketat, sekolah dapat menjadi lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak daripada di luar sekolah.

Dalam keterangannya, WHO juga menyampaikan, penutupan sekolah berdampak tidak hanya pada pembelajaran siswa.

Tetapi juga pada kesehatan dan kesejahteraan di tahap perkembangan kritis anak yang dapat menimbulkan efek jangka panjang.

Pelajar SDN Piyaman 2 Wonosari, Gunungkidul saat bertemu dengan teman-teman hingga guru sekolahnya.
Pelajar SDN Piyaman 2 Wonosari, Gunungkidul saat bertemu dengan teman-teman hingga guru sekolahnya. (TRIBUNJOGJA.COM / Alexander Ermando)

Selain itu, anak-anak yang tidak bersekolah juga menghadapi risiko eksploitasi tambahan termasuk kekerasan fisik, emosional dan seksual.

Dalam keterangan tersebut, WHO maupun UNICEF juga menyoroti peningkatan pernikahan anak, dan kekerasan anak yang menunjukkan tingkat mengkhawatirkan.

Peradilan agama mencatat kenaikan tiga kali lipat permintaan dispensasi perkawinan, dari 23.126 pada 2019 menjadi 64.211 pada 2020.

Prioritas utama program pembukaan sekolah 

Sementara itu, perwakilan UNICEF, Debora Comini, menyampaikan sekolah bagi anak-anak lebih dari sekadar ruang kelas.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved