Hedaline
Pedagang Malioboro Kibarkan Bendera Putih Tanda Menyerah
"Bukan protes, imbauan supaya mengerti perasaan PKL bahwa ekonomi lumpuh total tidak ada pedagang tidak ada pengunjung"
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tampak ratusan bendera putih dipasang rapi di sisi timur jalan termasyhur tersebut. Itu merupakan aksi simbolik yang dilakukan oleh para pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro untuk merespons situasi yang mereka hadapi saat ini.
Bendera putih menandakan bahwa mereka sudah menyerah dengan kondisi perekonomian yang kian hari semakin memburuk. Selain itu, simbol itu juga menandakan perasaan berkabung.
"Bendera putih dipahami oleh masyarakat kita sebagai tanda berkabung. Hal itu yang hari-hari ini mulai merayapi komunitas dan pelaku usaha di Malioboro," jelas Ketua Paguyuban Pedagang Lesehan Malioboro (PPLM), Desio Hartonowati saat ditemui di Kawasan Malioboro, Jumat (30/7).
"Penghasilan macet total, kehidupan, keluarga kritis, utang menumpuk, bantuan terasa jauh bahkan penerapan PPKM Darurat seolah jadi pukulan telak (bagi) PKL," tambahnya.
Mereka pun mengharapkan adanya terobosan kebijakan luar biasa dari Pemerintah Daerah (Pemda) DIY di tengah situasi krisis seperti saat ini.
Desio menjelaskan, Pemda DIY memang telah menyediakan skema relaksasi bagi para PKL, yakni dengan menyiapkan bantuan modal bergulir yang disalurkan melalui koperasi. Namun belum seluruh pelaku usaha di kawasan itu mendapat jatah bantuan. Sebab, tidak seluruh pelaku usaha tergabung dalam koperasi.
"Sementara relaksasi dana bantuan yang diturunkan PKL yang telah diturunkan dari 26 Juli sampai 29 Juli tidak terlalu memberi dampak positif, maka wajar kami dan Malioboro berkabung," paparnya.
Menurutnya, sejauh ini telah ada dua koperasi yang akan mendapat bantuan dari pemerintah. Sedangkan sembilan paguyuban lain tidak bisa diakomodasi karena tidak berbadan hukum koperasi. "Kami berharap dan meminta kepada gubernur untuk mencari terobosan agar paguyuban yang tidak berbadan hukum koperasi bisa mengakses bantuan modal bergulir tanpa bunga," jelas Desio.
Lebih jauh, pihaknya juga kecewa karena pemerintah tak kunjung meberi toleransi waktu berjualan khusus bagi PKL lesehan di Malioboro. Saat ini pemerintah tetap mewajibkan pelaku usaha untuk tak berjualan di atas pukul 20.00 WIB.
Padahal PKL lesehan biasanya baru berjualan sekitar pukul 18.30 WIB. Karena tak ada kelonggaran, para PKL pun memutuskan untuk tak berjualan meski pemerintah telah memberi izin untuk berdagang.
"Lesehan ini jadi kelompok yang paling menderita karena sejak kebijakan pembatasan tahun 2020 sampai PPKM 2021 tidak pernah terakomodir terkait kebijakan kelonggaran toleransi," paparnya. "Kami berharap supaya setelah tanggal 2 Agustus kami diberi kelonggaran berjualan sampai jam 23.00. Kita tetap tidak bisa jualan dengan rentan waktu 1,5 jam, sama saja kita tutup," lanjutnya.
Menurutnya, pemasangan bendera putih ini bukanlah bentuk protes kepada pemerintah, tetapi merupakan ungkapan perasaan para pedagang bahwa mereka merasa kesulitan menghadapi pandemi, yang membuat ekonomi mereka lumpuh. "Bukan protes, imbauan supaya mengerti perasaan PKL bahwa ekonomi lumpuh total tidak ada pedagang tidak ada pengunjung," kata dia.
"Menyerah secara universal. Kami enggak bisa berbuat apa-apa lagi," ungkapnya.
Bantuan modal dibutuhkan para pedagang mengingat dari awal pandemi hingga saat ini sudah ada 3 ribuan pedagang yang terdampak. Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan modal karena tergerus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mengetuk hati
Sementara itu, seorang PKL Malioboro, Dimanto (64) mengungkapkan, sejak pandemi Covid-19, dirinya belum mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah. Aksi pemasangan bendera putih ini sekaligus untuk mengetuk hati pemerintah agar memberikan sedikit bantuan kepada para pedagang di Malioboro.
"Ya kalau kaki lima parah, terutama kuliner. Karena sejak Covid-19 ada belum pernah ada bantuan apapun dari pemerintah. Kita mengetuk hati pemerintah supaya memberikan sedikit bantuan kepada terutama pedagang kaki lima yang ada di Malioboro," katanya.