YLBHI: Kalau Sanksi Pakai UU Kekarantinaan Kesehatan, Tapi Penerapkan Tak Pakai Aturan yang Sama

YLBHI: Kalau Sanksi Pakai UU Kekarantinaan Kesehatan, Tapi Penerapkan Tak Pakai Aturan yang Sama

Editor: Hari Susmayanti
KOMPAS.com/Deti Mega Purnamasari
Direktur YLBHI Asfinawati saat memberikan keterangsn pers dalam acara Laporan HAM 2019 dan Proyeksi 2020 di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kembali memberikan kritik terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Asfinawati menilai pemerintah saat ini terkesan menghindari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar warga dengan menerapkan kebijakan mulai dari PSBB, PPKM skala mikro hingga PPKM darurat.

Padahal, di Indonesia ada Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Namun pemerintah memilih untuk tidak menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Sementara dalam praktek di lapangan, UU Kekarantinaan Kesehatan dipakai untuk memberikan sanksi kepada warga negara yang melanggar aturan pembatasan.

"Kalau sanksi kenapa menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, tapi ketika penerapan kekarantinaan kenapa pakai yang bukan UU (yang sama)," kata Asfin dalam konferensi pers daring "Koalisi Warga Akses Kesehatan", Minggu (18/7/2021) seperti yang dikutip Tribunjogja.com dari Kompas.com dalam artikel berjudul "YLBHI Nilai Pemerintah Pakai Istilah PSBB hingga PPKM untuk Hindari Kewajiban Penuhi Kebutuhan Warga'.

Baca juga: Update Terbaru Peta Sebaran Covid-19 Indonesia Minggu 18 Juli 2021, Hari Ini Tambah 44.721 Pasien

Baca juga: Cerita Ndaru, Anggota DPRD Kota Yogyakarta yang Terjun Jadi Relawan Pemakaman Jenazah COVID-19

Dia menjelaskan dalam UU 6 Tahun 2018 diatur soal karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan.

Dalam UU itu pula disebutkan bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

"Jadi ketika pembatasan pemerintah gunakan yang lain dan jelas itu maksudnya untuk mengakali hukum agar kewajiban yang ada di UU 6/2018 tidak dipenuhi pemerintah dan tidak diberikan kepada masyarakat," ucap Asfin.

Selain itu, Asfin berpendapat, pendekatan pemerintah dan aparat terhadap warga selama pandemi ini cenderung represif.

Ia menilai, pemerintah menggunakan paradigma kuno, yaitu menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer.

"Kami menyesalkan ketika UU 6/2018 itu sudah demikian maju, itu UU yang sangat progresif, kok tiba-tiba pejabat publik mengembalikan kedaruratan dalam kacamata kuno, dalam kacamata keamanan atau bahkan pertahanan negara," kata Asfin.

"Kedaruratan kesehatan masyarakat ini harus didekati dengan persoalan kesehatan dan tidak akan berhasil dengan pendekatan pertahanan dan keamanan, selain argumen HAM terkait kebebasan pastinya," imbuhnya. (*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved