Melihat dari Dekat, Para Relawan Membuat Peti Jenazah yang Didonasikan ke RS Rujukan Covid-19
Mereka, adalah para relawan yang mendonasikan peti dari hasil produksinya itu, ke rumah sakit rujukan Covid-19. Utamanya, ke RSUP Dr Sardjito dan RSA
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Suara desing palu dan paku beradu. Di sampingnya, gergaji listrik meraung memotong lembaran-lembaran multiplek menjadi beberapa bagian.
Siang itu, di sebuah halaman rumah di Nogotirto, Gamping, Sleman terlihat kesibukan produksi peti jenazah.
Mereka, adalah para relawan yang mendonasikan peti dari hasil produksinya itu, ke rumah sakit rujukan Covid-19. Utamanya, ke RSUP Dr Sardjito dan RSA UGM.
Bukan tanpa alasan mereka tergerak memproduksi peti jenazah. Sebab, belakangan ini, pandemi di Yogyakarta kondisinya semakin memburuk, angka kematian meningkat dan RS membutuhkan banyak peti untuk menguburkan jenazah dengan protokol Covid-19.
Baca juga: HOTEL Paling Terdampak, 50 Persen Pekerja di Kota Yogyakarta Terancam PHK Selama PPKM Darurat
Gerakan donasi peti jenazah ini digagas oleh Capung Indrawan. Ia adalah alumni aktivis gelanggang mahasiswa UGM, sekaligus aktif sebagai relawan Sambatan Jogja (Sonjo).
Gerakan kemanusiaan ini didirikan sejak 24 Maret 2020 dan fokus pada upaya membantu masyarakat rentan serta berisiko terkena dampak Covid-19 di DaI Yogyakarta.
Relawan Sonjo terbagi dalam beberapa sektor yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Capung Indrawan aktif dalam gerakan ini. Selama pandemi corona, Ia update kebutuhan apa yang bisa dibantu.
Hingga suatu ketika di awal Juli, ia update kebutuhan peti jenazah di Rumah Sakit yang ternyata kondisinya sedang krisis. Akibatnya, pasien Covid-19 yang meninggal, butuh waktu cukup lama untuk dimakamkan.

Kondisi ini menjadi keprihatinan. Capung bersama sejumlah relawan, termasuk para alumni aktivis gelanggang mahasiswa UGM akhirnya memberanikan untuk memproduksi peti jenazah.
Langkah dimulai dengan membuat tim, mulai dari humas, donasi dan distribusi. Padahal, awalnya tidak ada pengalaman sedikitpun membuat peti jenazah.
Tapi berbekal pengalaman di bidang garmen, dan ada tukang profesional akhirnya produksi peti dijalankan.
"Awalnya tidak berfikir untuk disumbangkan, karena dananya cukup besar. Awalnya hanya ingin pelatihan (cara membuat peti). Tapi teman-teman merespon kepedulian itu. Banyak yang berdonasi. Amanat dari yang berdonasi itu, peti tidak boleh dijual. Harus digratiskan," ujar dia, saat dikunjungi Tribun Jogja, tempo hari.
Menurut Capung, memproduksi peti jenazah tidak begitu sulit, jika sudah mengetahui cara dan polanya. Bahkan, tidak harus memiliki keahlian pertukangan khusus.
Ia sendiri mengaku siap apabila ada kelompok yang menginginkan pelatihan. Sebab, baginya membuat peti, di tengah angka kematian Covid-19 yang tinggi, sebenarnya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok lain.
"Saya berharap ini menjadi trigger agar bisa diikuti oleh kelompok lain. Di segala lapisan masyarakat. Harapannya, bisa membuat peti sendiri," kata Capung.
Donasi peti jenazah ini sudah dilakukan sejak tanggal 5 Juli 2021 lalu. Pihaknya berharap produksi segera berakhir yang artinya, angka kematian Covid-19 sudah menurun. Namun, apabila masih dibutuhkan, Ia menargetkan bisa memproduksi sekitar 30 peti tiap hari.
Butuh Peran Bersama
Menurut Capung, penanggulangan wabah Covid-19 bukan semata menjadi tanggungjawab pemerintah saja.
Semua orang bisa berperan. Bukan hanya mereka yang punya modal. Tapi setiap orang yang memiliki skill apapun bisa membantu. Minimal setiap individu bisa berperan untuk dirinya sendiri.
Ia sangat yakin, komitmen masyarakat Yogyakarta yang kental akan gotong royong dan kebersamaan sanggup menangani pandemi. Capung mengajak semua individu untuk berperan.
Baca juga: Pengakuan Pelaku Perusakan Mobil Ambulans SAR DIY, Terprovokasi Hoax Ambulans Kosong
"Ayo Yogyakarta harus bisa survive, mengurusi diri sendiri," tuturnya.
Juru Bicara Alumni Gelanggang Mahasiswa UGM untuk pengadaan peti, Yudho Herlambang menambahkan, pembuatan peti jenazah tidak lepas dari adanya donasi.
Diceritakan, saat pertama Capung mengabarkan kondisi RS yang sedang krisis peti jenazah dan menggagas untuk memproduksi, Yudho lalu menuliskan gagasan itu di sosial media.
"Saya aktif di FB. Saya menulis tentang gagasan ini dan foto contoh peti kami. Saya meyakinkan, ini bukan wacana maupun gagasan kosong," kata dia.
Gayung bersambut. Postingan di media sosial tentang donasi peti jenazah dibagikan dan mendapat banyak respon dari pelbagai kalangan.
Bahkan, kata dia, ada pihak yang sedang rapat ingin memberikan donasi ke RS namun masih bingung dalam bentuk apa, tapi ketika melihat postingan di media sosial soal donasi peti jenazah, akhirnya diputuskan mendonasikan bantuannya untuk itu.
"Gagasan donasi peti jenazah ini akhirnya getok tular kemana-mana. Saling mengabarkan dan mengirim donasi, baik kelompok maupun pribadi. Ada juga netizen di FB, tanpa dikenal langsung mengirim donasi," kata Yudho.
Pria yang hobi fotografer ini berharap, gerakan donasi peti jenazah ini terus bergulir.
Bukan hanya di Yogyakarta, namun bisa diikuti kelompok di daerah-daerah lain yang memang sedang krisis peti jenazah. Sehingga, harapannya semua bisa berperan dan pandemi akan segera terselesaikan.
Di lokasi, para relawan terlihat gigih dan semangat membuat peti. Satu per satu papan multiplek yang sudah dipotong dirangkai, disatukan hingga menjadi Peti.
Ukuran panjangnya 2 meter dan lebar 70 centimeter. Peti tersebut, saat digunakan di dalamnya akan dilapisi oleh plastik sebagai bagian dari Protokol Kesehatan.
Relawan datang saling bergantian, karena masing-masing memiliki kesibukan. Protokol Kesehatan tetap dijalankan dengan mengenakan masker.
Yudho berharap, dalam waktu dekat produksi peti jenazah sudah berakhir seiring dengan melandainya angka kematian akibat virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Harapannya besok selesai. Sudah tidak butuh kami. Ini akan kami lakukan sampai kebutuhan peti terpenuhi.
Kalau sudah mampu memenuhi, kami akan berhenti produksi," ujar dia. (rif)