Angkringan
Kisah Warung Angkringan Meniko di Kota Jayapura Papua, Jadi Obat Kangen dan Pelepas Rindu
Kisah Warung Angkringan Meniko di Kota Jayapura Papua, Jadi Obat Kangen dan Pelepas Rindu
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Yudha Kristiawan
TRIBUNJOGJA.COM - Angkringan menjadi salah satu ikon kuliner di Yogyakarta.
Romantisme Yogya dan Angkringan menjadi dua hal yang lekat ketika bicara soal kota pemilik Tugu Pal Putih ini.
Angkringan tak hanya hadir di Yogyakarta, sebagai sebuah warung dengan ciri khas gerobak dan menu nasi kucingnya.
Di hampir kota besar di seluruh Indonesia angkringan hadir di sana.
Salah satunya ada di Kota Jayapura Papua. Anda bisa mampir di Angkringan Meniko yang dikelola pasangan suami istri asal Lamongan-Bantul.
Letaknya di seberang markas Detasemen Peralatan Kodam (Paldam) Kodam XVII/Cenderawasih.
Posisinya ada di sebelah Hotel Fox Jayapura, dan hanya sekira 100 meter saja dari kantor Kanwil Bank Mandiri Papua.
Baca juga: Sinetron Ikatan Cinta Tayang di RCTI Malam Ini: Kata Andin, Papa Surya Berhak Tahu Reyna Itu Cucunya

Warga kota ini lebih mengenal kawasan ini sebagai Pasar Paldam atau Pasar Ampera.
Dari Mapolresta Jayapura juga tidak terlalu jauh.
Secara penampilan fisik, Angkringan Meniko berusaha semirip mungkin dengan lapak hik di Yogya atau Solo.
Menggunakan gerobak dorong, wadah menu lauk pauk ada di tengah meja.
Sekelilingnya ada papan kayu tempat pengunjung bisa menikmati hidangan nasi kucing atau nasi bungkus.
Pembedanya, jika di gerobak-gerobak dorong angkringan dilengkapi tungku penjerang air untuk minuman, di Angkringan Meniko tidak ada.
Jadi di meja gerobak khusus untuk menyajikan hidangan.
Lauk lauk di angkringan ini sudah mirip seperti yang disajikan di angkringan khas Yogya atau Solo.
Ada sate usus, sate ati rempelo, sate telur puyuh, bacem ceker dan kepala, sate bakso, tahu dan tempe bacem, tempe mendoan, bakwan jagung dan bakwan sayur toge wortel kubis.
Menu nasi bungkusnya ada nasi lauk sambal teri, nasi sambal ikan, nasi rica ayam, dan nasi bakar.
Di angkringan ini juga disediakan botok lamtoro atau manding dan pepes telor.
Untuk nasi bungkus atau nasi kucing, porsi nasi dan lauk sedikit lebih banyak daripada nasi kucing ala Yogya atau Solo.
Sedangkan cita rasa lauk pauknya dibuat rerata manis pedas.
Baca juga: UPDATE Gunung Merapi Minggu 13 Juni 2021 Siang Ini: Terjadi 4 Kali Guguran Lava Pijar hingga 1 KM

Bayu Satria, pemilik angkringan ini mengaku tiga tahun terakhir meminjam area di seberang markas Paldam.
Sebelumnya, ia mencoba usaha angkringan jalur menuju Makodam XVII/Cenderawasih. Ia merintis usaha dari nol.
Bayu Satria berdarah Jawa-Sunda. Ayahnya Lamongan Jawa Timur, ibunya dari Jawa Barat.
Bayu bekerja sebagai prajurit TNI di Paldam. Istrinya berasal dari Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Istri saya yang menyiapkan semua masakan," kata Bayu Satria, Sabtu (12/6/2021) malam.
Menurut Bayu, ide membuka usaha angkringan ala Yogya di Jayapura datang dari pakdenya yang sukses di Denpasar, Bali.
Baca juga: Chef Juna Peringatkan Peserta MasterChef Indonesia Season 8 Hati-hati dengan Ucapannya

"Saya disarankan coba saja di Jayapura," kata Bayu yang lahir dan besar di Papua.
Istrinya juga sama-sama lahir dan besar di Papua. Mertuanya yang asal Bantul, bertahun lalu dikirim ke Wamena, sebagai guru.
Sedangkan ayah Bayu bertugas sebagai anggota TNI, berpindah-pindah penugasan, termasuk di Sorong. Bayu lahir di kota itu.
Menuruti saran pakdenya, Bayu dan istri memulai peruntungan.
Mereka berjualan di gerobak kecil, menyajikan menu-menu khas angkringan atau warung hik.
Saat itu belum ada satupun warung angkringan seperti yang mereka buat di ibu kota Papua itu.
"Boleh dibilang memang pionir, tapi sekarang yang sudah mulai banyak yang pakai konsep angkringan," jelas bapak dua anak ini.
Bayu mengajak sejumlah temannya, anggota Paldam, untuk mengisi waktu di sore dan malam hari untuk berjualan di pinggir jalan.
Prajurit-prajurit muda TNI itu memiliki cukup banyak waktu luang di luar tugas kedinasannya.
"Ketimbang ngapain juga di barak, ya bantu-bantu mas Bayu saja di angkringan," kata Anas, pemuda asal Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.
Anas baru beberapa tahun dikirim ke Papua, setelah menamatkan pendidikan bidang peralatan militer di Bandung.
Selain Anas, ada beberapa pemuda lain yabg membantu Bayu di angkringan.
Ada yang dari Kebumen dan Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Mereka terlihat sangat cekatan melayani pengunjung angkringan. Membuat es teh, es jeruk, teh panas, wedang jahe geprek, kopi dan lain-lainnya.
Penampilan mereka juga sangat rapi, bersih, dan disiplin menjaga higienitas angkringan dan menu-menunya.
Dari segi cita rasa, semua lauk pauk sudah taste Jawa. Pembeda hanya di level kepedasan sambalnya saja.
"Kita sesuaikan lidah orang sini yang tidak begitu suka manis saja. Mereka senang sambal," kata Bayu yang tinggal di Distrik Abepura.
Menurut Bayu Satria, sebelum pandemi Covid-19, warung angkringannya tak pernah sepi pengunjung. Warga selalu berjibun sejak warung buka pukul 17.00 WIT.
"Sering sampai antri sejak buka, karena penuh dan tempat tidak muat lagi. Mereka sabar nunggu juga," jelas Bayu.
Tapi ketika awal pandemi dan dilakukan pembatasan sosial secara ketat, angkringannya tutup total.
Usahanya mandek. Bayu dan istri banting stir jualan sayur mayur di rumahnya.
Itu dianggapnya masa-masa sulit di saat Angkringan Meniko sudah mendapat tempat di hati warga.
Baru beberapa bulan terakhir, kebijakan social distancing dilonggarkan, dan Angkringan Meniko kembali melayani konsumen di Jayapura.
Bayu Satria dan tim bakule angkringan bersemangat lagi.Warung jembali dijubeli pengunjung dan pelanggan sejak buka hingga sekira pukul 23.00 WIT.
"Sampai pukul sebelas malam saja, karena ya sudah sepi," aku Bayu. Ia dan teman-temannya juga mesti membagi waktu istirahat karena paginya harus bertugas.
Konsumen, pelanggan atau pengunjung angkringan umumnya warga perantau, pekerja kantor pemerintahan dan abdi negara yang ditugaskan dari luar Papua.
Warga asli Papua agak jarang nongkrong atau jajan di angkringan ini.
Bayu menyebut menu-menu warung hik kurang familier bagi mereka.
Ukuran nasi bungkus atau nasi kucing juga terlampau mini dibandingkan porsi makan umumnya warga di Jayapura.
Lauk seperti sate usus, sate rempelo ati, sate telur puyuh, umumnya kurang diminati.
Bahkan ada yang merasa geli atau jijik mengonsumsi menu jeroan itu.
"Saya sudah coba, tadi telor goreng sambal. Enak kok. Tapi sate usus atau ampela ati, tidak. Rasa gimana gitu, geli. Saya belum mencobanya," kata Calvin Louis, warga asal Nabire.
Sebaliknya, Stepen Sremere, warga asal Sorong, Papua Barat, mengaku senang dan cocok pada menu-menu angkringan.
"Enaaak bang, cocok. Rasanya juga cocok, tapi nasinya sangat sedikit. Itu buat kita macam camilan saja hahahahaha...," kata Stepen berderai tawa.
Kedua orang ini belum pernah ke Yogya atau Solo. Sehingga ia tidak punya bayangan sama sekali sebelumnya, seperti apa warung angkringan khas kota itu.
Baca juga: DAFTAR 16 Peserta di MasterChef Indonesia Season 8 Minggu 12 Juni 2021, Siapa yang Harus Tersisih?

"Ternyata sampai di sini, waaah, semua sudah siap santap. Harganya juga relatif murah untuk ukuran sini. Tapi ya itu bang, nasinya sedikit," lanjut Stepen.
Calvin dan Stepen pertama kali saat mendengar menu nasi kucing, sempat mengira itu nasi berlauk daging kucing. Makanya mereka kaget.
"Rupanya itu hanya istilah saja ya. Nasinya sedikit sekali," tukas Calvin yang tinggal di Abepura.
Menurut keduanya, angkringan ini cocok buat nongkrong berlama-lama.
Bisa saling mengobrol, bercerita, sembari menikmati malam di Jayapura.
Dari segi harga, Angkringan Meniko menyajikan harga yang cukup enteng.
Nasi bungkus Rp 4.000, sate usus, sate rempelo, dan sate telur puyuh dibanderol Rp 6.000.
Tempe mendoan, bakwan, jadah goreng rerata di harga Rp 2.000 dan Rp 3.000.
Paling menarik dari angkringan ini, Bayu Satria membuat program khusus tiap Jumat.
Ia menggratiskan minuman dan nasi bungkus pada hari itu.
Bayu Satria di tengah kesibukan sebagai prajurit TNI dan bakul angkringan, ia juga seorang muadzin di masjid Paldam XVII/Cenderawasih.