Anjungan DI Yogyakarta di TMII Jakarta, Ada Pasareyan Tedeng dan Cerita Gamelan yang Bunyi Sendiri
Berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tidak lengkap jika belum mengunjungi Anjungan DI Yogyakarta. Terletak persis di seberang Museum Kepraj
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tidak lengkap jika belum mengunjungi Anjungan DI Yogyakarta.
Terletak persis di seberang Museum Keprajuritan Indonesia, anjungan ini terbilang cukup ramai dikunjungi apabila tidak sedang pandemi.
“Anjungan ini menjadi tempat promosi dan pelestarian budaya DI Yogyakarta di Jakarta. Kami berupaya untuk menjembatani hubungan DIY dengan banyak pihak,” ungkap Kepala Badan Penghubung Daerah Pemda DIY, Nugrohoningsih kepada wartawan, Senin (7/6/2021).
Diketahui, DIY memiliki Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berkantor di Jakarta bernama Badan Penghubung Daerah (Banhubda).
Tugas dari Banhubda adalah mengampu tiga wilayah kerja meliputi Anjungan DIY di TMII, Kantor Menteng, dan kawasan Pedati.
Baca juga: PAN Tegaskan Dukungan untuk Heroe Poerwadi di Pilkada 2024
Dia merinci, luas tanah dari anjungan tersebut sekitar 8.105 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 2.964 meter persegi.
Meski begitu, tanah tersebut bukan dimiliki oleh Pemda DIY, melainkan milik Sekretaris Negara (Setneg) dengan perjanjian pinjam pakai selama lima tahun sudah diperbarui di 2018 lalu.
“Awalnya, ini juga bukan Pemda DIY yang bangun, tapi Yayasan Guntur Madu yang merupakan trah dari Hamengkubuwono. Beliau-beliau semua sukses di Jakarta dan membangun ini. Baru pada 2001, diserahkan pada Pemda DIY dan dikelola oleh kami,” bebernya.
Hampir setiap minggu, pengelola anjungan akan menyelenggarakan pendidikan kilat, seperti ketoprak, karawitan dan tari.
Juga ada pameran produksi perajin Yogyakarta, pentas kesenian dan juga pentas kebudayaan.
Bahkan, ada kelompok ekspatriat Jepang yang sering menyempatkan diri untuk berlatih menabuh gamelan.
Tidak heran, jika dilihat dengan seksama, anjungan DIY ini terlihat lebih rapi dan terawat dibandingkan dengan banyak anjungan di TMII yang dipenuhi semak belukar.
“Tempat kami, InsyaAllah lebih ramai karena sering ada acara. Di masa pandemi ini tetap ada yang datang meski acara dikurangi,” katanya.
Simpan Barang Antik
Dilihat sekilas, anjungan DIY tampak seperti bangunan yang biasa ditemui di Yogyakarta.
Namun, jika masuk ke dalam, ternyata di anjungan ini, ada banyak barang antik yang sayang jika tidak diperhatikan.
Berbagai benda peninggalan Keraton Yogyakarta di antaranya ada pasareyan tedeng dan dipan tempat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dilahirkan oleh Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara pada 12 April 1912 silam.
Pasareyan tersebut tidak tampak mewah, namun kokoh berdiri setelah ratusan tahun digunakan. Kayunya belum tampak lapuk dan membentuk kotak berukuran 256 cm x 256 cm menutupi kasur.
Selain pasareyan tedeng HB IX, tersimpan pula pasareyan Pangeran Diponegoro dan pasareyan dari bahan marmer peninggalan HB V.
“Di sini ada dua perangkat gamelan dengan bahan perunggu yang berasal dari sumbangan masyarakat. Ada juga ampilan dalem berlapis emas, keris sejak jaman Mpu pertama Yogyakarta tahun 1840 juga ada di sini,” ungkapnya.
Saat ditanya apakah ada hal-hal mengerikan, mengingat pihaknya menyimpan barang-barang antik, Nugrohoningsih tidak menampik.
Seringkali gamelan yang bisa dimainkan oleh umum itu bunyi sendiri.
“Memang seturut cerita ada malam-malam tertentu, gamelan bunyi sendiri. Namun kan ada yang percaya ada yang tidak. Hanya saja memang benda-benda di sini kan usianya sangat tua, mungkin memang memiliki hal-hal menarik tersendiri,” sambung dia.
Baca juga: Bupati Bantul Fokus Kembangkan Sektor Industri,Pertanian dan Pariwisata Meski Masa Jabatan Pendek
Gunakan Danais
Setelah diserahkan ke Pemda DIY di tahun 2001 dari Yayasan Guntur Madu, otomatis pengelolaan anjungan itu dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemda DIY.
“Sejak 2013 kami sudah dapat pendanaan dari Dana Keistimewaan (Danais). Tahun ini, nilainya sekitar Rp 2,1 milyiar,” tambah Nugrohoningsih.
Dana tersebut, menurutnya cukup untuk membiayai gaji para pegawai dan untuk pengelolaan anjungan tersebut.
Bahkan, setiap tahun, danais yang diapatkan naik terus, sehingga perawatan barang-barang bisa dimaksimalkan.
“Awalnya itu belum mencapai Rp 2 miliar. Masih di bawah itu, tapi lambat laun terus naik. Kami berterimakasih kepada Pemda DIY kami selalu didengarkan,” tandasnya. (ard)