Ki Seno Nugroho

Kisah Wayang Bagong Yang Turut Dikubur Bareng Dalang Ki Seno Nugroho

Tokoh Bagong sendiri merupakan lakon yang paling sering dibawakan Ki Seno Nugroho di setiap pagelaran wayang kulit yang ia pentaskan.

Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Yudha Kristiawan
Tribun Jogja/ Yudha Kristiawan
Suasana doa bersama memperingati meninggalnya Ki Seno Nugroho, Senin (9/11/2020) malam 

Namun disatu sisi, di manapun berada, harus menghormati aturan yang berlaku di tempat tersebut.

Beberapa versi menyebutkan, sejatinya, tokoh Bagong bukan anak kandung Semar.

Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.

Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sang Hyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman.

Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia.

Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan".

Baca juga: Asal Mula Pemukiman Mewah di Desa Bubakan Wonogiri yang Mirip Kawasan Villa Elit di Tawangmangu

Ki Seno Nugroho dan Elisha Orcarus Alosso
Ki Seno Nugroho dan Elisha Orcarus Alosso (Foto: @satriaatasangin)

Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Dikutip dari berbagai sumber,  gaya bicara tokoh Bagong dalam pewayangan yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda kala itu. 

Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.

Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya.

Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura.

Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved