Yogyakarta
Epidemiolog UGM Tanggapi Rapid Test Acak di Pos Penyekatan di DI Yogyakarta
Tes rapid antigen di sejumlah penyekatan itu bisa menjadi cara untuk mendapatkan sinyal penyebaran COVID-19 di masyarakat.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Petugas gabungan di sejumlah pos penyekatan menggelar rapid test acak untuk siapapun yang melintas dari perbatasan DIY dan Jawa Tengah.
Menurut Ahli Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Riris Andono Ahmad, adanya tes rapid antigen di sejumlah penyekatan itu bisa menjadi cara untuk mendapatkan sinyal penyebaran COVID-19 di masyarakat.
“Testing di area penyekatan tidak ditujukan untuk diagnosis. Itu sifatnya hanya melihat sinyal,” katanya, Rabu (19/5/2021).
Maka, rapid test antigen seperti itu tidak berkaitan dengan efektivitas penelusuran masyarakat yang terjangkit COVID-19 maupun cara untuk mengendalikannya.
Baca juga: Banyak Warga Nekat Mudik, Begini Saran Epidemiolog UGM untuk Antisipasi Penularan Covid-19
“Dari situ, kita jadi punya pandangan tentang transmisinya saja,” tambahnya.
Ditanya mengenai banyaknya masyarakat yang mudik di masa Lebaran 2021 lalu, Donnie, idealnya mobilitas di masa apapun memang dibatasi.
Sebab, Indonesia harus berkaca betul dari India dimana kasusnya melonjak setelah negara itu memperbolehkan gelaran yang menimbulkan kerumunan masyarakat.
“Di India, mereka merasa sudah berhasil menekan kasus COVID-19, sehingga memperbolehkan kegiatan yang besar dan menimbulkan kerumunan. Maka, kasusnya naik lagi,” jelasnya.
Ini sama halnya dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Masa Lebaran cenderung dijadikan momentum untuk bertemu dengan sanak saudara dan kawan lama.
Donnie menilai, ketika bertemu dengan orang yang dikenal, insting masyarakat pasti akan merasa untuk enggan menggunakan masker dan tidak menjaga jarak.
Baca juga: Epidemiolog UGM : Tes Acak Pemudik Tidak Bisa Dijadikan Rujukan Penyebaran COVID-19
Hal-hal seperti ini yang membuat kasus COVID-19 semakin naik di Indonesia.
Dampaknya, angka kematian turut meningkat.
“Kalau kasusnya naik, maka jumlah orang yang sakit parah akan menjadi lebih tinggi. Kapasitas rumah sakit belum tentu bisa mencukupi. Ini yang kemudian memicu kematian. Angka kematiannya juga akan naik,” ucapnya.
Maka, menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan sistem kesehatan yang mengantisipasi adanya lonjakan kasus untuk berjaga-jaga.
“Harapannya ya itu tidak terjadi, tapi kalau terjadi, kita harus berjaga-jaga. Masyarakat juga jangan lupa protokol kesehatan. Itu salah satu yang bisa menjaga dari penularan,” tambahnya. ( Tribunjogja.com )