Mutiara Ramadan Kerja Sama LDNU DIY

Renungan di Pengujung Ramadan

Sudah lazim, setiap tahun Ramadan disambut dengan gempita dan penuh suka cita oleh hampir seluruh umat Islam.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Tajul Muluk, Wakil Ketua LDNU DI Yogyakarta 

Oleh: Tajul Muluk, Wakil Ketua LDNU DI Yogyakarta

TRIBUNJOGJA.COM - Sudah lazim, setiap tahun Ramadan disambut dengan gempita dan penuh suka cita oleh hampir seluruh umat Islam.

Entah sambutan itu berlatarbelakang apa, dan cara menyambutnya dengan ekspresi yang bagaimana dan seperti apa. Yang jelas, semua bersuka cita.

Tetapi tentu, setiap permulaan akan menemukan akhirannya, setiap cita-cita akan menemukan capaiannya, setiap niatan akan mendapatkan tujuan yang diniatkannya. Demikian irisan nasihat Nabi dalam hadisnya.

Jika kita merenungkan nasihat tersebut, kita akan dapat mengambil ibrah, siapa pun dan bagaimana pun suka citanya menyambut Ramadan, maka akan tampak sikap dan perilakunya ketika sampai detik-detik akhir Ramadan.

Penghujung Ramadan adalah waktu yang punya cerita dan ciri khas tersendiri, terutama bagi orang-orang yang menyambut dan memosisikan Ramadan sebagai bulan yang benar-benar istimewa dalam bingkai keimanan.

Sehingga, benarlah kiranya jika nabi menggunakan kata imanan dan ihtisaban, dalam memotivasi kita untuk menghidupkan hari-harinya dengan amal perbuatan yang positif dan produktif.

Dalam sebuah riwayat, misalnya, terdapat potret tentang perilaku dan perlakuan khusus Nabi pada 10 hari terakhir Ramadan, sebagai penghujung waktu yang betul-betul istimewa.

Kesannya, jangan sampai kita kehilangan sedetik pun dari 10 hari terakhir Ramadan. Nabi SAW. bersabda, “Dahulu, apabila Nabi SAW. telah masuk 10 terakhir, beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. al Bukhari).

Hadis ini menggambarkan betapa khusus dan istimewanya penghujung Ramadan, hingga nabi senantiasa menghidupkan waktu-waktu malamnya. Bahkan beliau tidak sendirian, melainkan mengajak keluarganya untuk melakukan hal serupa.

Perlakuan ini juga terdapat dalam bincang-bincang para salafusshalih, baik secara teoretis berupa bahasan dalam karya-karya mereka maupun secara praksis, bagaimana mereka melakukan amalan dan membagikannya kepada orang lain, tentang keistimewaan malam-malam 10 akhir Ramadan.

Di antara, perlakuan para salafusshalih terhadap penghujung waktu Ramadan ini seperti tertulis dalam bait-bait syair yang menggambarkan kesedihan mereka akan kepergian Ramadan.

Juga redaksi doa-doa mereka tentang Ramadan yang menyiratkan keinginan kuat dan penuh kesungguhan, agar dapat dipertemukan kembali dengan Ramadan di tahun-tahun yang akan datang.

Salah satu redaksi dalam bait-bait syair tersebut, misalnya, “mudda’-mudda’ ya ramdhan, atau wadda’ wadda’ ya ramadhan.” Syair tersebut diubah dari sebuah kesadaran bahwa bulan yang penuh ampunan ini, jangan sampai pergi meninggalkan kita dalam keadaan belum mendapatkan ampunan. Sedih sekali manakala Allah SWT. sedang murah-murahnya memberikan ampunan, lalu tidak memerolehnya.

Gambaran inilah salah satu renungan, bahan evaluasi, tentang bagaimana kita menyambut datangnya Ramadan. Dengan suka citakah, atau tidak? Jika pun dengan suka cita, apa yang sebenarnya melatarbelakanginya?

Sejalan dengan hal tersebut, tak salah kiranya mengingat sebuah pesan yang disampaikan oleh Ibn Atha`illah as-Sakandari dalam karyanya, Al-Hikam: “Man asyraqat bidayatuh, asyraqat nihayatuh.” Jika kalimat ini dikontekstualisasikan dengan bahasan kita, maka seseorang yang semangat dan niatnya lurus, baik dan benar, dalam menyambut datangnya bulan Ramadan; semata karena Allah, karena imanan wa ihtisaban, niscaya, hingga penghujung Ramadan, bahkan Ramadan telah usai, dia akan tetap pada semangat dan niatan yang sama.

Menjalani dan menghidupkan Ramadan dengan semangat dan niatan yang sama, semata-mata karena keimanan dan keinginan baik untuk membuktikan keimanan tersebut.

Ramadan pasti akan datang kembali. Tetapi kita tak tahu, masihkah ada kesempatan menjumpainya kembali. Jika pun iya, tentu, Ramadan tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dan Ramadan pada tahun-tahun yang akan datang juga berbeda dengan tahun ini.

Memang, kita bukan hamba dan menghamba pada bulan Ramadan, tetapi bulan Ramadan telah dijanjikan untuk kita. Bahwa Allah SWT. Dzat Yang Maha Mengasihi dan Mengampun hendak memberikan kasih sayang dan ampunan-Nya seluas dan semurah-murahnya.

Ramadan kini sudah di penghujung waktu. Tak lama lagi akan meninggalkan kita. Lantas, bagaimana dengan kualitas puasa, shalat, tadarrus, dan sedekah kita. Kita tidak tahu. Hanya sebatas doa, Allahumma taqabbal minna shiyamana, wa shalatana, wa qiyamana, dst. Kiranya untaian doa dalam ucapan selamat berlebaran esok hari, benar-benar menjadi doa yang terkabulkan.

“Ja’alana Allah min al-‘aidin wa al-faizin” Semoga kita betul-betul terampuni dan kembali menjadi hamba-hamba Allah yang suci seperti saat kita dilahirkan, dan menjadi hamba-hamba Allah yang beruntung dengan sebenar-benarnya keberuntungan. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved