Yogyakarta
Terdampak Pandemi, Sejumlah Ruko di Yogyakarta Mulai Gulung Tikar
Para pemilik ruko tersebut rata-rata tak sanggup membayar cicilan di bank lantaran modal usaha untuk membangun ruko tersebut melalui kredit di bank.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Setelah hotel dan retoran di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak sedikit yang dijual karena tak sanggup beroperasi saat pandemi COVID-19, kini beberapa ruko juga turut terimbas dan tak sedikit pula yang harus dilelang.
Para pemilik ruko tersebut rata-rata tak sanggup membayar cicilan di bank lantaran modal usaha untuk membangun ruko tersebut melalui kredit di bank.
Seorang pemilik toko yang enggan disebut namanya, mengatakan butuh waktu sekitar empat tahun bagi dirinya untuk mengembangkan usaha rukonya itu hingga sebesar seperti saat ini.
Bisa dibilang usahanya berjualan aneka makanan dan beberapa peralatan makanan siap saji di antaranya plastik dan lainnya sudah lancar.
Baca juga: Di Balik Tutupnya Gerai di Mal, APPBI DIY Sebut Kondisi Seimbang dengan Ekspansi Pembukaan Toko Baru
Bahkan, ia meyakini telah memiliki banyak pelanggan setia yang memesan kebutuhan plastik pembungkus makanan atau keperluan yang lain.
"Dulu modal usahanya pinjam ke bank, ya kalau dihitung-hitung sudah habis Rp750 juta buat bangun itu, karena bahan-bahannya mahal," katanya, kepada Tribunjogja.com, Kamis (25/3/2021).
Ia menjelaskan, sejak diberlakukannya beberapa kebijakan terkait penanganan pandemi COVID-19 di DIY membuat penghasilannya menurun.
"Aktivitas terbatas, mahasiswa kan pada pulang. Gak ada yang jualan makanan siap saji, ya gimana kami bisa untung. Sementara angsuran jalan terus," jelasnya.
Lantaran harus tetap bertahan, kini ia terpaksa tidak dapat membuka tokonya karena kehabisan modal.
Untuk memulai bisnisnya yang baru, ruko yang dimiliki saat ini pun kemudian disewakan dengan harga yang lebih rendah.
Baca juga: Kondisi Mal di DI Yogyakarta setelah Satu Tahun Pandemi, Merchant Tidak Lanjut Sewa
"Baru kemarin ada yang menyewa seharga Rp35 juta per tahun. Katanya dibuat warmindo. Ya gak apa-apa lah untuk memutar usaha saya," terang dia.
Saat ini, ia berusaha merintis usaha barunya di wilayah Ambarawa dengan harapan jauh lebih baik kondisinya dibanding Kota Yogyakarta.
Upaya relaksasi dari pemerintah sangat diharapkan, namun kondisi tagihan dari pihak bank yang terkendala membuatnya tak mendapat jatah relaksasi.
"Ya tagihan saya macet, bagaimana bisa mau pinjam, pasti kan kena BI checking. Ya gimana nasib-nasib yang seperti kami ini sementara pandemi belum tahu sampai kapan," pungkasnya.( Tribunjogja.com )