Kisah Inspiratif
Alami Komplikasi Bawaan, Bayi Penderita HPE Asal Semin Gunungkidul Menanti Uluran Bantuan
HPE merupakan kondisi di mana bagian depan otak manusia tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Masa tumbuh kembang Huriyah Afiat, bayi asal Pedukuhan Pucung, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semin, Gunungkidul ini tak "sempurna" seperti bayi sehat lainnya.
Sejak lahir, ia mengalami gangguan di kepalanya.
Bayi berumur 7 bulan ini merupakan buah hati dari pasangan Nur Rahmad dan Lilis Meliliana.
Nur menuturkan, anaknya itu disebut dokter menderita Holoprosenchephaly (HPE).
"Menurut dokter, ada kelainan di bagian otaknya," tutur pria berumur 38 tahun dihubungi wartawan belum lama ini.
Informasi yang dihimpun Tribunjogja.com, HPE merupakan kondisi di mana bagian depan otak manusia tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Baca juga: Kisah Penjual Koran Difabel Pantang Menyerah Mencari Rezeki Halal untuk Keluarga
Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada bentuk kepala.
Menurut Nur, kejanggalan sudah terlihat saat Huriyah masih di dalam kandungan.
Dokter saat itu mendiagnosa janin mengalami microchephaly, alias ukuran otak yang tak berkembang.
Ia baru mengetahui kabar tersebut ketika ditelepon istrinya.
Saat itu, pria asli Gunungkidul ini tengah bekerja di luar daerah.
"Sejak dikabari itu, saya memutuskan pulang dari perantauan," ujar Nur.
Huriyah dilahirkan secara caesar, namun setelahnya sempat dirawat selama sebulan di RSUD Wonosari.
Pasalnya ia didapati sering mengalami kejang-kejang.
Merasa tak beres, Nur dan Lilis lantas membawa anaknya untuk diperiksa di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
Dari situlah diketahui pasti Huriyah menderita HPE tersebut.
Tak hanya itu, dokter yang memeriksa menyebut Huriyah mengalami sejumlah komplikasi bawaan.
Alhasil, mereka pun harus melakukan perjalanan jauh dari rumah ke Sardjito untuk melakukan pemeriksaan rutin.
"Penanganan di rumah sakit mengandalkan BPJS Kesehatan, tapi obat-obatan harus ditebus sendiri," ungkap Nur.
Baca juga: Kisah Juri Atmojo, Puluhan Tahun Setia Sebagai Tukang Reparasi Payung di Magelang
Ia mengungkapkan, sebulan ia harus merogoh kocek hingga lebih dari Rp 3 juta.
Biaya itu digunakan untuk oksigen, peralatan medis, hingga jasa transportasi menuju Sardjito.
Tak ayal, kondisi keuangan keluarganya pun kian terjepit.
Nur sendiri memilih tak bekerja lantaran ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada buah hatinya tersebut.
Ia bersama istrinya pun kini mengharapkan adanya bantuan dana untuk merawat Huriyah.
Berbagai upaya pun sudah dilakukan, seperti mencoba membuka donasi lewat situs online.
"Sekuat tenaga dan sepenuh hati akan saya lakukan demi kebaikan anak," kata Nur dengan mantap.( Tribunjogja.com )