Kisah Sri Praptiwinarni, Mantan Sekretaris Direksi RS Bethesda Yogya, Saksi Hidup Sidang Adopsi Anak
Selama masih aktif menjadi sekretaris, Prapti sering diminta untuk membantu sidang proses adopsi sejumlah anak Yogyakarta ke luar negeri.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah kisah tentang anak adopsi lahir di Yogyakarta yang dibawa ke Belanda dan Jakarta mendapatkan apresiasi cukup banyak dari para pembaca setia.
Tribun Jogja pun berusaha menghubungi salah satu saksi yang sering membantu persidangan proses adopsi dalam kurun waktu 1978-1981.
Ia adalah Sri Praptiwinarni. Perempuan yang akrab disapa Prapti itu merupakan mantan Sekretaris Direksi RS Bethesda Yogyakarta.
Selama masih aktif menjadi sekretaris, Prapti sering diminta untuk membantu sidang proses adopsi sejumlah anak Yogyakarta ke luar negeri.
“Saya bekerja 36 tahun di RS Bethesda dan pensiun di tahun 2014. Selama itu, ada beberapa tahun saya membantu proses anak-anak adopsi yang lahir di RS Bethesda Yogyakarta dan Lempuyangwangi,” ungkap Prapti kepada Tribun Jogja, Selasa (2/3/2021).
Baca juga: Kisah Pilu Alfian, Siswa SMK di Klaten yang Harus Kehilangan Kedua Tangan Saat Jalani PKL
Baca juga: Kisah-kisah Anak Adopsi Mencari Sang Orang Tua di Yogyakarta
Melalui sambungan telpon, suara Prapti masih terdengar penuh energi. Ia mengingat bagaimana detail anak-anak adopsi yang disaksikan di tahun-tahun tersebut.
Baginya, menjadi saksi persidangan adopsi anak adalah tugas yang harus ia emban dengan baik.
Meski itu sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun silam, namun Prapti masih menyimpan buku catatan anak-anak adopsi di rumahnya.
Alasannya, ia paham akan ada suatu masa dimana para anak adopsi itu bakal kembali ke DI Yogyakarta untuk mencari jati dirinya.
Ditambah, sebagai saksi, ada sebuah peraturan bahwa dirinya harus sanggup jika sewaktu-waktu anak adopsi bertanya kepada dirinya.
“Ini saya lagi telpon sambil mengecek buku catatan anak adopsi. Saya masih simpan biar kalau ada yang mencari, saya masih mencatat,” tuturnya lagi.

Di masa tersebut, Prapti adalah orang yang mengurusi syarat, termasuk akta kelahiran, perwalian hingga paspor.
Tak ayal, ia harus mencatat segalanya agar proses adopsi harus berjalan lancar.
Proses adopsi luar negeri memang tidaklah mudah. Calon orangtya adopsi harus tinggal setidaknya dua minggu pascasidang adopsi selesai.
Mereka juga harus memenuhi syarat yang berlaku atau proses adopsi dibatalkan.
“Sekitar 100 anak ada ya saya membantu adopsi dari Indonesia ke luar negeri. Itu semua legal karena melalui persidangan dan datanya ada,” ungkapnya lebih lanjut.
Menjadi saksi proses adopsi memang cukup melelahkan.
Secara fisik, berkas yang dikumpulkan cukup banyak dan harus dilampirkan.
Secara mental, ada rasa iba yang membuncah di dada memikirkan bagaimana nasib anak-anak adopsi itu ke depannya
Sebagian besar anak yang diserahkan untuk adopsi berasal dari keluarga miskin.
Orangtua sang anak tidak mampu membesarkan dan memilih untuk menyerahkan agar diadopsi.
Baca juga: VIRAL, Prosesi Ngunduh Mantu dengan Menaiki Kereta Kuda di Magelang
Baca juga: Mengharukan, Kisah Sagiyem Warga Bantul, Terpisah 35 Tahun dengan Anak yang Diadopsi Warga Belanda
Harapan mereka cuma satu, anak yang dilahirkan ke dunia itu bisa mendapat hidup lebih baik dengan keluarga lain daripada keluarga kandung.
“Kalau data ya semua ada. Beberapa waktu lalu, anak adopsi dari Swedia banyak yang datang ke sini untuk menanyakan tentang data adopsinya. Mereka juga ingin mencari orang tua kandung,” ucap Prapti.
Meski memiliki semua data, Prapti tahu tidak semua data bisa ia buka.
“Memang ada orangtua yang bermasalah, misal dulu mereka tidak menikah. Bisa juga orang tua tidak mau dicari karena mereka menutupi rahasia punya anak,” tuturnya.
Memberi Nama
Selain membantu menjadi saksi, Prapti adalah orang yang memberi nama sebagian besar anak adopsi.
“Anak adopsi itu biasanya saya yang beri nama. Semua tergantung bulan lahir. Misal, Maryono maka lahir di bulan Maret, Oktano di bulan Oktober,” jelas Prapti.
Kala itu, cukup banyak orangtua yang meninggalkan anak di RS.
Kadang, ada seorang ibu yang sudah menginap di RS dan langsung meninggalkan bayi tanpa sempat diberi identitas.

Situasi ini membuat Prapti harus memutar otak agar proses administrasi yang dia urus tidak ribet hanya karena masalah nama.
“Saya bilang ke bidan, jangan aneh-aneh kasih nama. Sesuai bulan saja karena masih harus urus akte,” katanya.
Tidak heran, nama anak adopsi banyak yang mengidentifikasikan bulan Januari-Desember dan cukup singkat, hanya 1 kata.
“Kalau masih ada yang mau mencari keluarga di Yogyakarta, bisa tanya ke saya. Saya sudah tidak di Bethesda, tapi paling tidak saya punya data administrasi yang dibutuhkan,” tandasnya.
( tribunjogja.com/ ard )