Cerita Ponpes Al-Fatah Bantul yang Ditinggali Para Waria Saat Corona Melanda
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Shinta Ratri, pemilik ponpes tersebut terlihat asik mengobrol dengan dua rekan
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Rintik hujan yang turun sedikit demi sedikit menambah dingin semilir angin berhembus di pelataran Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Shinta Ratri, pemilik ponpes tersebut terlihat asik mengobrol dengan dua rekan warianya sembari menikmati hujan. Meski wajahnya tertutup masker, namun nada suaranya yang riang menunjukkan tidak ada keresahan berarti di tengah pandemi virus corona.

Para waria yang bergabung di ponpes itu tetap terkena dampak Covid-19, khususnya secara perekonomian.
Kegiatan mereka yang sehari-hari mengamen, mencari uang di jalan cukup berubah drastis.
Banyak kesulitan menghadang.
Akan tetapi, simpul jaring pengaman sosial waria cukup kuat sehingga mereka tetap bisa berdiri tegak di masa yang tidak pasti.
Di masa seperti ini, mereka mengandalkan satu sama lain agar tetap bisa melanjutkan hidup meski kurang diperhatikan pemerintah.
“Sejak awal, kami memang tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah karena kami tahu, pemerintah juga kewalahan menghadapi Covid-19 ini,” ungkap Shinta kepada Tribun Jogja, Selasa (16/2/2021).
Shinta tidak marah dengan absennya pemerintah untuk memenuhi hak hidup waria.
Segenap anggota di ponpes itu paham, masyarakat pada umumnya saja masih sulit mengakses bantuan dari pemerintah, apalagi mereka yang minoritas.
“Kami bener-bener enggak njagakke dari pemerintah. Kami gerak sendiri bersama komunitas,” terangnya.
Ia justru bersyukur, hingga kini masih banyak komunitas yang memperdulikan nasib transpuan meski bukan kewajiban mereka.
“Komunitas ini ada untuk kami. Akademisi, umat gereja, jemaah masjid, AJI, LBH, NU, semuanya ikut bantuin kami,” tutur Shinta.
Bantuan yang diberikan pun bermacam-macam, ada yang berupa sembako, ada juga yang berupa dana untuk membayar kos-kosan dan memenuhi biaya hidup.
Sejumlah bantuan itu tidak ia terima untuk diri sendiri atau hanya untuk waria saja, namun tetap dibagikan ke masyarakat yang membutuhkan.
“Misal, masyarakat di dekat ponpes ini membutuhkan, ya kami bantu. Bantuannya juga berupa sembako. Bisa juga kalau ada orang membutuhkan di dekat komunitas waria Bantul, pasti akan dibantu. Kami berusaha ikut merangkul semua orang juga biar sama-sama gitu,” ucapnya menjelaskan.
Menjaga Prokes
Protokol kesehatan (prokes) menjadi hal penting yang harus diikuti oleh para waria.
Sebab, sebagian besar kerja mereka berada di lapangan dan tidak bisa dilakukan dari rumah.
Ponpes Al-Fatah itu sempat memberikan kesempatan bagi para waria untuk mengungsi di situ setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama corona.
Seiring berjalannya waktu, ternyata pandemi ini tidak segera selesai. Sehingga, satu per satu dari mereka kembali ke tempat masing-masing.
“Kita itu sudah menyediakan sikat gigi, handuk semuanya, ternyata pandeminya setahun juga tidak selesai. Beberapa minggu di sini, mereka pada enggak betah karena harus bekerja,” kata Shinta terkekeh.
Masker pun selalu mereka gunakan di jalan, selain untuk menghindari terkena Covid-19, juga menghindari dikejar-kejar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
“Tapi sekarang Satpol PP enggak ngejar kita sih, harus jaga jarak kan, kita semua takut kena corona juga” timpal Jamila yang sejak tadi ingin menimbrung pembicaraan.
Jamila adalah salah satu dari waria yang terdampak pandemi.
Sehari-hari, pekerjaannya adalah pengamen dan pendapatannya turun drastis.
Dugaan Jamilah, orang-orang pada enggan memberi karena perekonomian juga sulit dan harus menjaga jarak dengan siapapun.
“Mungkin nanti bisa aku pakai QR Code bayar pengamen via GoPay gitu kali ya,” katanya lagi sembari tertawa.
Cerita Jamila di masa pandemi cukup unik.
Ia sempat tidur di sekitaran Tugu Pal Putih untuk mendapatkan nasi boks demi menyambung hidup.
Di awal pandemi menerjang, ada banyak orang yang begitu tergugah rasa simpatinya.
Orang-orang itu secara sukarela akan membagikan makanan untuk masyarakat yang tinggal di jalanan, termasuk Jamilah.
“Pernah pas aku lagi tidur gitu di kursi, ada orang ngegugah aku, katanya ada nasi gudeg anget. Nah, yang enak aku makan duluan,” tuturnya polos.
Saat itu, ia bisa mendapat delapan nasi boks dalam sehari. Akan tetapi, dia tidak pelit. Nasi boks itu tetap dia bagikan ke teman-teman yang membutuhkan.
Delapan nasi boks itu juga tidak mungkin ia lahap sendiri. Daripada bau dan terbuang, akan lebih mulia jika dibagikan lagi ke teman-teman yang membutuhkan.
“Pengennya sih pandemi cepat selesai lah biar kita semua bisa seperti sedia kala,” tandas Jamila menutup percakapan. ( Tribunjogja.com | Ard )